Islam menekankan pentingnya menghormati tawanan. Teks al-Quran mengekspresikan, pemberian pangan untuk para tawanan merupakan salah satu dari kebajikan, dan terhitung sebagai salah satu sifat mu'min yang baik.
Allah swt berfirman mengenai sifat-sifat mu'min yang merdeka: "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan" (QS. Al-Insan: 8).
Dalam ayat ini memberikan suatu gambaran langsung bahwa seorang tawanan seakan disambut layaknya seorang tamu, bukan sebagai tawanan yang lantas dijadikan budak. Pimpinan perang dibawah naungan panji Islam, tawanan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi, tidak membuat mereka haus dan lapar.
Sholahuddin Al-Ayyubi menorehkan sejarah dengan tinta emas: saat berperang, Sholahuddin menangkap pasukan Salib yang berjumlah sangat besar sedangkan makanan yang tersedia tidak cukup buat mereka. Dengan lapang dada, akhirnya Sholahuddin membebaskan mereka tanpa syarat.
Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya "nazariyat al-harb fi al-Islam" (Teori Perang dalam Islam) menulis: "motivasi perang dalam Islam itu reagresi, atau membalas serangan lawan". Sejumlah perang yang terukir dalam sejarah Islam bukan perang melawan rakyat, melainkan perang menghadapi prajurit yang menindas rakyat dan orang-orang yang memiliki otoritas mengambil kekuatan senjata sebagai alat untuk memusuhi kebenaran. Berdasarkan itu, simpul-simpul ukhuwah umat Islam dengan pemimpin wilayah tidak terputus jika komunikasi tetap prospektif dan memungkinkan.
Sedangkan perang yang menimpa umat Islam seperti terjadi sekarang ini tidak demikian, karena hanya invasi atau agresi antarnegara, sebab pertama kali yang dilakukan sang agresor itu kini tidak segan-segan menangkap para pemimpin negara yang ia perangi, serta menyita habis harta mereka.
Adapun Islam tidak menghendaki demikian. Bahkan Islam menganjurkan bahwa hubungan dagang antar-negara tidak bisa diputuskan hanya oleh perang, hubungan dagang antar-pebisnis itu akan masih tetap terjalin. Karena itu para pengusaha yang memasuki al-diyar al-islamiyah (negara-negara Islam) akan merasa aman, sebab mereka diberikan 'transaksi' kontrak keamanan yang memadai.
Keamanan itu tetap dijaga kendatipun sang pebisnis, misalnya, bergabung dengan negara agresor atau bahkan dengan negara Islam yang tengah berkecamuk perang. Satu sisi usaha dagang dan bisnis mereka tetap lancar, pekerjaan tidak hilang, dan sisi lain uang tetap terjaga dengan utuh tak tersentuh selama mereka mendapatkan hak keamanan sebagaimana yang dijanjikan.
Dengan cara pandang ini, jika kita lihat apa yang terjadi dengan para tawanan di Irak, atau pelbagai macam barisan perlawanan Irak yang ada di sana, atau operasi penculikan terhadap orang yang tidak berkaitan langsung dengan perang, itu sama sekali tidak relevan dengan kesepakatan Jenewa mengenai hak-hak perlindungan tawanan, terlebih lagi dengan prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam. * Penulis adalah Direktur Eksekutif Sanggar Kinanah dan mahasiswa aqidah dan filsafat, Univ. al-Azhar, Kairo.
Allah swt berfirman mengenai sifat-sifat mu'min yang merdeka: "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan" (QS. Al-Insan: 8).
Dalam ayat ini memberikan suatu gambaran langsung bahwa seorang tawanan seakan disambut layaknya seorang tamu, bukan sebagai tawanan yang lantas dijadikan budak. Pimpinan perang dibawah naungan panji Islam, tawanan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi, tidak membuat mereka haus dan lapar.
Sholahuddin Al-Ayyubi menorehkan sejarah dengan tinta emas: saat berperang, Sholahuddin menangkap pasukan Salib yang berjumlah sangat besar sedangkan makanan yang tersedia tidak cukup buat mereka. Dengan lapang dada, akhirnya Sholahuddin membebaskan mereka tanpa syarat.
Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya "nazariyat al-harb fi al-Islam" (Teori Perang dalam Islam) menulis: "motivasi perang dalam Islam itu reagresi, atau membalas serangan lawan". Sejumlah perang yang terukir dalam sejarah Islam bukan perang melawan rakyat, melainkan perang menghadapi prajurit yang menindas rakyat dan orang-orang yang memiliki otoritas mengambil kekuatan senjata sebagai alat untuk memusuhi kebenaran. Berdasarkan itu, simpul-simpul ukhuwah umat Islam dengan pemimpin wilayah tidak terputus jika komunikasi tetap prospektif dan memungkinkan.
Sedangkan perang yang menimpa umat Islam seperti terjadi sekarang ini tidak demikian, karena hanya invasi atau agresi antarnegara, sebab pertama kali yang dilakukan sang agresor itu kini tidak segan-segan menangkap para pemimpin negara yang ia perangi, serta menyita habis harta mereka.
Adapun Islam tidak menghendaki demikian. Bahkan Islam menganjurkan bahwa hubungan dagang antar-negara tidak bisa diputuskan hanya oleh perang, hubungan dagang antar-pebisnis itu akan masih tetap terjalin. Karena itu para pengusaha yang memasuki al-diyar al-islamiyah (negara-negara Islam) akan merasa aman, sebab mereka diberikan 'transaksi' kontrak keamanan yang memadai.
Keamanan itu tetap dijaga kendatipun sang pebisnis, misalnya, bergabung dengan negara agresor atau bahkan dengan negara Islam yang tengah berkecamuk perang. Satu sisi usaha dagang dan bisnis mereka tetap lancar, pekerjaan tidak hilang, dan sisi lain uang tetap terjaga dengan utuh tak tersentuh selama mereka mendapatkan hak keamanan sebagaimana yang dijanjikan.
Dengan cara pandang ini, jika kita lihat apa yang terjadi dengan para tawanan di Irak, atau pelbagai macam barisan perlawanan Irak yang ada di sana, atau operasi penculikan terhadap orang yang tidak berkaitan langsung dengan perang, itu sama sekali tidak relevan dengan kesepakatan Jenewa mengenai hak-hak perlindungan tawanan, terlebih lagi dengan prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam. * Penulis adalah Direktur Eksekutif Sanggar Kinanah dan mahasiswa aqidah dan filsafat, Univ. al-Azhar, Kairo.
0 komentar