Ilustrasi
Rasulullah sudah berusaha hendak menghindarkan diri dari mereka (para istrinya), meninggalkan mereka, supaya sikap kasih sayang kepada mereka itu tidak sampai membuat tingkah laku mereka kian melampaui batas, dan sampai ada dari mereka yang mengeluarkan rasa cemburunya dengan cara yang tidak layak.

Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri hati pada istri-istri Nabi (Ummahatul Mukminin) itu sudah melampaui sopan santun, sehingga ketika terjadi percakapan antara Rasulullah dengan Aisyah. Aisyah menolak menyatakan adanya persamaan rupa Ibrahim dengan Rasulullah. Dan hampir-hampir pula menuduh Maria yang bukan-bukan, yang oleh Nabi dikenal bersih.

Pernah terjadi ketika pada suatu hari Hafshah pergi mengunjungi ayahnya dan bercakap-cakap di sana, Maria datang kepada Nabi tatkala beliau sedang di rumah Hafshah dan agak lama. Ketika Hafshah kembali pulang dan mengetahui ada Maria di rumahnya, ia menunggu keluarnya Maria dengan rasa cemburu yang meluap-luap. Makin lama ia menunggu, cemburunya pun makin menjadi.

Ketika Maria keluar kemudian, Hafshah masuk menjumpai Nabi. "Saya sudah melihat dengan siapa kau tadi," kata Hafshah. "Engkau sungguh telah menghinaku. Engkau tidak akan berbuat begitu kalau tidak kedudukanku yang rendah dalam pandanganmu."

Rasulullah segera menyadari bahwa rasa cemburulah yang telah mendorong Hafshah mengungkapkan perasaannya, dan membicarakannya kembali dengan Aisyah atau Ummul Mukminin yang lain.

Dengan maksud hendak menyenangkan perasaan Hafshah, Rasulullah bahkan hendak bersumpah mengharamkan Maria buat dirinya, jika Hafshah tidak akan menceritakan apa yang telah disaksikannya itu. Hafshah berjanji akan melaksanakan. Namun kecemburuan begitu berkecamuk dalam hatinya, sehingga dia tidak sanggup lagi menyimpan perasaannya. Dan Hafshah pun menceritakan kejadian tersebut kepada Aisyah.

Begitu memuncaknya keadaan mereka, sehingga pada suatu hari mereka mengutus Zainab binti Jahsy kepada Nabi di rumah Aisyah dan dengan terang-terangan mengatakan bahwa beliau berlaku tidak adil terhadap para istrinya. Dan karena cintanya kepada Aisyah beliau telah merugikan yang lain.

Dalam berterus terang itu Zainab tidak hanya terbatas dengan mengatakan Nabi bersikap tidak adil di antara para istrinya, ia bahkan mencerca Aisyah yang ketika itu sedang duduk-duduk. Sehingga membuat Aisyah marah, namun ditenangkan oleh Rasulullah.

Namun Zainab begitu bersikeras menyerangnya dan mencerca Aisyah hingga melampaui batas, sehingga tak ada jalan lain bagi Nabi kecuali membiarkan Aisyah  membela diri. Aisyah pun membalas kata-kata Zainab dan membuatnya terdiam.

Pada waktu-waktu tertentu pertentangan istri-istri Nabi itu sudah begitu memuncak, sebab beliau dianggap lebih mencintai yang seorang daripada yang lain. Sehingga Nabi bermaksud hendak menceraikan sebagian mereka. 

Setelah Maria melahirkan Ibrahim, rasa iri hati pada mereka makin menjadi-jadi, lebih-lebih Aisyah. Dalam menghadapi kegigihan sikap mereka yang iri hati ini, Rasulullah—yang telah mengangkat tinggi derajat mereka—masih tetap bersikap lemah-lembut. Rasulullah tidak punya waktu untuk melayani sikap yang demikian dan membiarkan dirinya dipermainkan oleh sang istri. Mereka harus mendapat pelajaran dengan sikap yang tegas dan keras. Persoalan Ummahatul Mukminin itu harus dapat dikembalikan ke tempat semula.

Rasulullah harus kembali dalam ketenangannya berpikir, dalam menjalankan dakwahnya, seperti yang sudah ditentukan Allah kepadanya. Beliau hendak memberi pelajaran dengan meninggalkan mereka atau mengancam mereka dengan perceraian.

Akhirnya, selama sebulan penuh Nabi memisahkan diri dari mereka. Tiada orang yang diajaknya bicara mengenai mereka, juga tak seorang pun yang berani memulai membicarakan masalah mereka itu. Dan selama sebulan itu Rasulullah memusatkan perhatiannya pada upaya dakwah dan penyebaran Islam di Jazirah Arab.

Pada saat yang demikian, Abu Bakar dan Umar bin Khathab serta para mertua Nabi yang lain merasa gelisah sekali melihat nasib Ummahatul Mukminin. Mereka khawatir dengan kemarahan Rasulullah yang akan berakibat pula dengan kemurkaan Allah dan para malaikat.

Bahkan ada orang yang mengatakan bahwa Nabi telah menceraikan Hafshah, putri Umar, setelah ia membocorkan apa yang dijanjikannya akan dirahasiakan. Desas-desus pun beredar di kalangan kaum Muslimin bahwa Nabi sudah menceraikan istri-istrinya. Pada saat yang sama, para istri Rasulullah pun gelisah pula. Mereka menyesal, yang karena terdorong oleh rasa cemburu, sampai sebegitu jauhnya menyakiti hati suami yang tadinya sangat lemah-lembut kepada mereka. Bagi mereka, Rasulullah adalah segalanya dalam hidup ini.

Kini Rasulullah menghabiskan sebagian waktunya dalam sebuah bilik kecil. Dan selama beliau dalam bilik itu, pelayannya yang bernama Rabah duduk menunggu di ambang pintu. Sudah sebulan lamanya Rasulullah dalam bilik itu sesuai dengan niatnya hendak meninggalkan para istrinya.

Ketika itu kaum Muslimin sedang berada dalam masjid dalam keadaan menekur. Mereka berbincang-bincang bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya. Kesedihan mendalam membayang jelas pada wajah mereka. 

Umar yang berada di tengah-tengah mereka lalu berdiri, hendak pergi ke tempat Nabi dalam biliknya. Dipanggilnya Rabah agar dimintakan izin hendak menemui Rasulullah. Namun Rabah tidak berkata apa-apa, yang berarti bahwa Nabi belum  mengizinkan. Sekali lagi Umar mengulangi permintaannya. Namun Rabah tetap tidak memberikan jawaban.

Sekali ini Umar berkata lagi dengan suara lebih keras. "Rabah, mintakan aku izin kepada Rasulullah SAW. Kukira beliau sudah menduga kedatanganku ini ada hubungannnya dengan Hafshah.  Sungguh, kalau beliau menyuruhku memenggal leher Hafshah, akan kupenggal."

Sekali ini Nabi memberi izin dan Umar pun masuk. Ketika Umar sudah duduk dan membuang pandang ke sekeliling tempat itu, ia menangis.

"Apa yang membuatmu menangis, Ibnul Khathab?" tanya Rasulullah lembut.

Yang membuat Umar menangis adalah melihat tikar tempat Nabi berbaring itu sampai membekas di rusuknya. Dan bilik sempit yang tiada berisi apa-apa selain segenggam gandum, kacang-kacangan dan kulit yang digantungkan.

Setelah mengatakan apa yang menyebabkannya menangis, dan Nabi mengatakan  perlunya meninggalkan kehidupan duniawi, Umar pun kembali tenang.

"Rasulullah," kata Umar, "Apa yang menyebabkan tuan tersinggung karena para istri  itu. Kalau mereka itu tuan ceraikan, niscaya Tuhan di sampingmu. Demikian juga para malaikat—Jibril dan Mikail—juga saya, Abu Bakar, dan semua orang-orang beriman berada di pihakmu."

Kemudian Umar terus bicara dengan Nabi sehingga bayangan kemarahannya berangsur hilang dari wajah beliau dan beliau pun tertawa. Setelah Umar melihat hal ini, ia kemudian menceritakan keadaan Muslimin yang ada di masjid serta apa yang mereka katakan, bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya—Ummahatul Mukminin.

Nabi mengatakan bahwa beliau tidak menceraikan mereka. Dan Umar minta izin untuk mengumumkan hal ini kepada orang-orang yang kini masih menunggu di masjid.



source: REPUBLIKA.CO.ID

0 komentar