TAFSIR AL-AZHAR - SUROTUL FATIHAH

TAFSIR AL-AZHAR - SUROTUL FATIHAH

ALFATIHAH artinya ialah pembukaan .

Surat inipun dinamai patihatul-kitab , yang berarti pembukaan kitab , karena kitab al-Qur'an dimulai atau dibuka dengan surat ini .Dia yang mulai ditulis di dalam Mushhaf , dan dia yang mulai dibaca ketika tilawatil Qur'an , meskipun bukan dia surat yang mula-mula diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.

Nama Surat al- Fatihah ini memang telah mashur sejak permulaan nubuwwat.

Adapun tempat dia diturunkan , pendapat yang lebih kuat ialah yang menyatakan bahwa surat ini diturunkan di Mekkah. Al-Wahidi menulis di dalam kitabnya Asbabun-Nuzul dan as-Tsa'labi di dalam tafsirnya riwayat dari Ali bin Abu Thalib , dia berkata bahwa kitab ini diturunkan di Mekkah, dari dalam suatu perbendaharaan di bawah 'Arsy .

Menurut suatu riwayat lagi dari Abu Syaibah di dalam al-Mushan­naf dan Abu Nu'aim dan al-Baihaqi di dalam Dalailun- Nubuwwah, dan as-Tsa'labi dan al-Wahidi dari hadits Amer bin Syurahail , bahwa setelah Rasulullah s.a.w mengeluhkan pengalamannya di dalam gua itu setelah menerima wahyu pertama, kepada Khadijah, lalu beliau dibawa oleh Khadijah kepada Waraqah, maka beliau ceritakan kepadanya, bahwa apabila dia telah memencil seorang diri didengarnya suara dari belakangnya: "Ya Muhammad, ya Muhammad, ya Muhamad ! Mendengar suara itu akupun lari." Maka berkatalah Waraqah : "Jangan engkau berbuat begitu; tetapi jika engkau dengar suara itu , tetap tenanglah engkau, sehingga dapat engkau dengar apa lanjutan perkataannya itu ".

Selanjutnya Rasulullah s.a.w berkata: "Maka datang lagi dia dan terdengar lagi suara itu : "Ya Muhammad ! Katakanlah : Bismillahir-Rahmanir-Rahim, Alhamdulillahi-Rabbil­`Alamin, sehingga sampai kepada Waladh-Dhaalin". Demikian Hadits itu.

Abu Nu'aim di dalam ad-Dalaail meriwayatkan pula tentang seorang laki-laki dari Bani Salamah, dia berkata : "Tatkala pemuda ­pemuda Bani Salamah masuk Islam , dan Islam pula anak dari Amer Jumawwah, berkatalah istri Amer itu kepadanya : "Sukakah engkau mendengarkan dari ayah engkau sesuatu yang telah diriwayatkan dari padanya ? "Anak itu lalu bertanya kepada ayahnya apakah agaknya riwayat tersebut lalu dibacanya : "Alhamdulillahi Rabbil `Alamin" (sampai ke akhir).

Sedang kejadian itu ialah di Mekkah.

Ibnu al-Anbari pun meriwayatkan bahwa dia menerirna riwayat dari Ubadah bin as-Shamit bahwa surat Fatihatul-Kitab ini memang diturunkan di Mekkah. Sungguhpun demikian ada juga satu riwayat yang diterima oleh perawi-perawinya dari Mujahid , bahwa beliau ini berpendapat bahwa surat ini diturunkan di Madinah .

Tetapi, entah karena sengaja hendak mengumpulkan di antara dua pendapat, ada pula segolongan yang menyatakan bahwa Surat diturunkan dua kali, pertama di Mekkah, kemudian diturunkan sekali lagi di Madinah.

Tetapi menjadi lebih kuatlah pendapat golongan yang terbesar tadi bila kita ingat bahwa sembahyang lima waktu mulai di fardhukan ialah sejak di Mekkah , sedang sembahyang itu dianggap tidak sah kalau tidak membaca al-Fatihah menurut Hadits :

"Tidaklah (sah) sembahyang bagi siapa yang tidak membaca Fatihatul Kitab." (Hadits ini dirawikan oleh al-Jama'ah, daripada Ubadah bin as Shamit).

Dia termasuk satu Surat yang mula-mula turun. Meskipun Iqra' sebagai lima ayat permulaan dari Surat al-`Alaq yang terlebih dahulu turun, kemudian itu pangkal surat Ya Ayyuhal Muddatstsir, Kemudian itu pangkal surat Ya Ayyuhal Muzzammil, namun turunnya ayat-ayat itu terpotong-potong. Tidak satu Surat lengkap. Maka al-Fatihah sebagai surat yang terdiri dari tujuh ayat, ialah Surat lengkap yang mula-mula sekali turun di Mekkah.

Di dalam Surat 15 (al-Hijr), ayat 87 ada disebut "Tujuh yang diulang-ulang (Sab'an minal matsaani). Menurut Ibnu Katsir yang dimaksud ialah Surat al -Fatihah ini juga, sebab al-Fatihah dengan ketujuh ayatnya inilah yang diulang-ulangi tiap-tiap rakaat sembahyang, baik yang fardhu ataupun yang sunnat. Oleh sebab itu maka Sab'ul Matsaani , adalah nama Surat ini juga.

Di dalam Surat 3 (Ali-Imran) ayat 7, ada disebut Ummul Kitab, ibu dari kitab. Menurut Imam Bukhari di dalam permulaan tafsirnya, yang dinamaiUmmul Kitab itu ialah al- Fatihah ini, sebab dia yang mula ditulis dalam sekalian Mushaf dan dia yang mulai dibaca di dalam sembahyang. Cuma Ibnu Sirin yang kurang sesuai dengan penamaan demikian. Dia lebih sesuai jika dinamai Fatihatul Kitab saja. Sebab di dalam Surat 13 (ar-Ra'ad) ayat 39 terang dikatakan bahwa Ummul  Kitab yang sebenarnya ada di sisi Allah.

Tetapi beberapa Ulama lagi tidak keberatan menamainya juga Ummul Qur'an, artinya ibu dari seluruh isi al-Qur'an, karena ada sebuah Hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :

"Dia adalah ibu al-Qur'an , dan dia adalah Fatihatul kitab dan dia adalah tujuh yang diulang-ulang.

Penulis Tafsiral-Kasysyaaf menyebutkan lagi namanya yang lain, yaitu al Kanz(Perbendaharaan), al- Wafiyah (yang melengkapi), al Hamd (puji-pujian) dan Surat as-Shalah (sembahyang). Dan menurut riwayat as-Tsaalabi dari Sufyan bin Uyaynah, Surat inipun bernama al- Waqiyah (Pemelihara dari kesesatan), Sebab dia mencukupi Surat­surat yang lain, sedang Surat-surat yang lain tidak mencukupi kalau belum bertali dengan dia. Tadi dia beri nama Perbendaharaan, karena menurut riwayat All bin Abu Thalib tadi, dia diturunkan dari Perbendaharaan di bawah Arsy.

Dia bernama Melengkapi, sebab seluruh Syariat lengkapnya tersimpul dalamnya. Dia bernama Puji pujian, sebab dipangkali dengan puji kepada Allah. Dan dia bernama Surat Sembahyang, karena sembahyang tidak sah kalau dia tidak dibaca.

Bilamana kita kelak telah sampai kapada penafsiran isinya, dapatlah kita fahami bahwa segala nama itu memang sesuai dengan dia. Apatah lagi pokok ajaran Islam yang sejati, yang menjadi ibu dari segala pelajaran, yaitu Tauhid, telah menjadi isi dari ayat-ayatnya itu pertama sampai akhir.

Tidak ada puji, apapun macamnya puji untuk yang lain, hanya untuk Allah semata-mata. Dan di dalam ayat itu telah tersebut Tuhan sebagai Robbi, atau Robbun, yang berarti Pemelihara, Pengasuh, Pendidik dan Penyubur. Diikuti oleh ayat yang menyebut dua nama Alloh, yaitu ArRohman, Yang Maha Murah dan ArRohim Yang Maha Penyayang, nampaklah betapa pertalian Khaliq dengan MakhlukNya, yang kelak di dalam al-Qur'an akan diuraikan berulang-ulang. Kemudian pokok ajaran utama dari al Quran ialah tentang hari   pembalasan, Hari Kiamat, Hari Berbangkit, dari ilal syurga dan neraka; semuanya ini telah tersimpul dalam ayat " Maliki yaumiddin" yang mempunyai hari pembalasan.

Sebagai kesempatan ibadah kepada Allah, dan tidak ada ibadat buat yang lain, yaitu isi yang sejati dari Tauhid, maka datanglah ayat: " Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in". Hanya engkau yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah tempat kami memohon pertolongan.

Untuk mencapai Ridho Alloh, maka Tuhan menunjukkan garis jalanNya yang harus ditempuh, lalu Allah mengutus Rasul-rasulNya membawa Syariat dan memimpin kepada manusia bagaimana menempuh jalan itu; Isi Al-Qur'an yang ini tersimpul dalam ayat "Ihdinas Shirothol Mustaqim".

Kemudian itu al-Qur' an berisi kabar yang menggembirakan bagi orang yang taat dan patuh, kebahagiaan di dunia dan syurga di akhirat yang di dalam istilah agama disebut wa'ad, ini telah terkandung di dalam ayat "Shirotholladzina an `amta `alaihim ", jalan yang telah Engkau beri nikmat atasnya. Kemudian al-Qur'an pun memberikan ancaman siksa dan azab bagi orang yang lengah dan lalai, kufur dan durhaka, yang disebut wa'id. Maka tersimpul pulalah kata al-Qur'an ini pada ujung surat tentang orang yang maghdhub, kena murka Tuhan, dan orang yang dhoollin, orang yang sesat. Demikian pula al-Qur'an menceritakan keadaan umat-umat yang telah terdahulu, yang telah binasa dan hancur karena dimurkai Tuhan, dan diceritakan juga kaum yang sesat dari jalan yang benar; itupun telah tersimpul di dalam kedua kalimat maghdhubi dan dhoollin itu.

Menilik yang demikian itu dapatlah kita pahami apa sebab maka al-Fatihah itu disebut Ummul Kitab atau Fatihatul-kitab, yang pada pembukaan telah disimpul isi dari 114 Surat yang mengandung 6.236 ayat itu.

Kemudian ada pula penafsir berkata bahwa seluruh al-Qur'an dengan Suratnya yang 114 dan ayatnya yang 6.236 ayat itu, semuanya telah tersimpul dalam Surat al-Fatihah. Dengan peninjauan tersebut di atas tadi, dapatlah penafsiran demikian itu kita terima. Tetapi di antara mereka melanjutkan lagi. Dia berkata bahwa Surat al-Fatihah itu telah tersimpul di dalam Bismillahir-Rohmanir-Rohim ; barangkali setelah merenungkan agak mendalam tentang Maha MurahNya Tuhan Allah kepada hambaNya dan kasih sayangNya sehingga   diutusNya Rasul , diwahyukanNya Kitab-kitab Suci, disediakanNya Surga bagi yang taat dan ampunan bagi yang taubat.

Penafsiran ini masih juga dapat kita terima. Tetapi setengah penafsir itu melanjutkan lagi. Katanya, BismillahirRohmanirRohim itu tersimpul dalam huruf B (al-Baa) pada permulaan Bismillah ! Dan selanjutnya lagi , ada mereka yang berkata bahwa huruf Ba pangkal Bismillah itupun tersimpul dalam titik huruf Ba itu. Sampai di huruf Ba dan titiknya itu, penafsir ini tidak mau mengikut lagi. Sebab itu bukan lagi penafsiran yang berdasar ilmu, tetapi sudah satu khayal !

Apa sebab ?

Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, dan bahasa Arab mempunyai 28 huruf, di antaranya hurup kedua, yaitu al-Baa, atau hurup B dalam istilah Latin. Tetapi kalau membacanya secara tunggal ialah al-Baa ( dengan ditekan sedikit ujungnya, sehingga berbunyi ada hamzah). Maka menurut undang- undang bahasa Arab dan ejaannya , barulah sebuah huruf berarti apabila dia telah dirangkaikan dengan huruf yang lain atau kalimat yang lain. Dan yang khusus pada hurup al-Baa baru dia berarti dengan, setelah dia diberi baris bawah (kasrah) dan dirangkaikan dengan satu kalimat yang bersifat isim (nama).

Misalnya bi Muhammadin yang berarti (dengan Muhammad). Billahi (dengan Allah). Atau Bismillahi. (dengan nama Allah).

Cobalah pikirkan, bagaimana akan dapat diterima apabila dikatakan bahwa seluruh al-Fatihah terkumpul ke dalam Bismillahir­Rohmanir-Rohim dan Bismillahir-Rohmanir-Rohim terhimpun seluruhnya kepada hurup al-Baa ?

Dan lebih tidak dapat diterima pula kalau dikatakan bahwa huruf al Baa itupun terkumpullah kepada titiknya yang ada di bawah itu. Yang berarti bahwa seluruh isi al-Qur' an, yang terdiri dari 114 Surat mengandung 6.236 ayat terhimpun semuanya kepada satu titik. Bukan sembarang titik, tetapi titik Ba yang di bawah itu.

Bagaimana akan disimpulkan ke sana, padahal baik di jaman Rosululloh s.a.w atau di waktu Sayidina Abu Bakar as-Shiddiq memerintahkan mengumpulkan al-Qur'an ke dalam satu Mushhaf, ataupun selanjutnya setelah Usman Bin Affan memerintahkan membuat Mushaf al-Imam, sebagai Mushhaf yang resmi sampai sekarang, pada ketiganya itu huruf al-Baa belum lagi bertitik

Huruf- huruf al-Qur'an , termasuk huruf al-Baa barulah diberi bertitik di jaman pemerintahan

Abdul Malik bin Marwan, Khalifah ke 5 Bani Umaiyah, atas buah pikiran daripada Wali Negeri Irak,
al Hajjaj bin Yusu£ Sedangkan memberinya berbaris fat-hah, dhammah, kasrah, tanwin dan sukun, terlebih dahulu daripada memberinya titik. Yang memberikan berbaris itu ialah Abul Aswad ad-Du'ali, atas perintah Wali Negeri Bashrah, Zayyad. Di jaman khalifah Bani Umaiyah yang pertama, sahabat Rasulullah s.a.w, Mu'awiyah bin Abu Sufyan.

Oleh sebab itu maka penafsiran seperti demikian bukanlah mempunyai dasar yang dapat dipertanggungjawabkan menurut al-­Qur'an dan Hadits dan dirayah atau riwayat ahli-ahli tafsir yang mu'tamad. Dia hanya satu khayal yang dapat pelemak-lemakkan kata, tetapi tidak akan bertemu dari mana sumbernya, kalau hendak dicari dengan seksama

Tentang ayat Bismillahir-Rohmanir-Rohim :

Tentang ini agak panjang juga pembicaraan di antara para ulama, baik Bismillah di permulaan al-Fatihah atau Bismillah di permulaan sekalian Surat al-Qur'an, kecuali pada permulaan Surat Baroah (at Taubah). Yang menjadi perbincangan ialah, apakah Bismillah di permulaan Surat itu masuk dalam Surat atau di luar Surat ? Pembicaran tentang ini selanjutnya telah menjadi sebab perbincangan pula, wajibkah imam rnembaca Bismillah itu dengan jahar (suara keras) pada sembahyang yang jahar (Maghrib, Isya dan Subuh), atau membaca dengan sir (tidak dikeraskan membacanya) melainkan Alhamdulillah selanjutnya saja ? Atau tidak dibaca sama sekali, dan hanya langsung rnenjaharkan al- Fatihah ?.

Supaya lebih mudah peninjauan kita tentang perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana keislaman itu, terlebih dahulu kita kemukakan titik-titik pertemuan. Semuanya tidak ada selisih bahwa Bismillahir RohmanirRohim itu memang ada tertulis dalam surat 27 (an-Naml) yaitu seketika Maharani Balqis, raja perempuan dari negeri Saba menerangkan kepada orang-orang besar kerajaannya bahwa dia menerima sepucuk surat dari Nabi Sulaiman yang ditulis :

       بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

 "Dengan nama Alloh yang Maha Pemurah, Maha Penyayang ":

Dan titik pertemuan paham mereka yang kedua ialah bahwa menurut ajaran Rasulullah s.a.w sendiri, sekalipun surat al-Qur'an yang 114 Surat kecuali surat Baraah (At Taubah) semuanya dimulai menuliskannya dengan Bismillah itu selengkapnya, menurut yang tertulis di ayat 30 Surat an-Naml itu. Maka Mushaf pertama yang ditulis oleh panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit atas perintah Khalifah pertama Saiyidina Abu Bakar itu adalah menurut yang diajarkan Nabi itu, pakai Bismillah diawal permulaan Surat, kecuali Baraah (at-Taubah). Dan Mushaf Saiyidina Usman bin Affan pun ditulis cara demikian pula. Semua pakai Bismillah, kecuali Baraah

Tentang Bismillah ada di permulaan tiap-tiap surat, kecuali surat Baraah atau at-Taubah tidaklah ada perselisihan Ulama. Yang diperselisihkan ialah terletaknya dipangkal Surat itu menjadikan dia termasuk dalam Surat itukah, atau sebagai pembatasnya dengan Surat­-surat yang lainnya saja, atau dia menjadi ayat tunggal sendiri. Golongan yang terbesar dari Ulama Salaf berpendapat bahwa Bismillah di awal Surat adalah ayat pertama dari Surat itu sendiri. Beginilah pendapat Ulama Salaf Mekkah, baik Fuqahanya atau ahli Qira'at ; di antaranya ialah Tbnu Katsir dan Ulama Kufah, termasuk dua ahli Qira'at terkemuka, Ashim dan al-Kisaa-i. Dan sebagian sahabat- sahabat Rasulullah dan Tabi'in di Madinah.

Dan Imam Syafi'i di dalam fatwanya yang jadid (baru), demikian pula pengikut­pengikut beliau. Dan Sufyan as-Tsauri dan Imam Ahmad pada salah satu di antara dua katanya. Demikian pula kaum al-Imamiyah (dari Syi'ah). Demikian pula dirawikan daripada Ulama sahabat, yaitu Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Abbas dan Abdulloh bin Umar dan Abu Hurairoh ; dan Ulama Tabi'in, yaitu Said bin Jubair, Athoo' dan az-Zuhri dan Ibnul Mubarok

Alasan mereka ialah karena telah ijma seluruh sahabat Rasululloh s.a.w dan yang datang mereka. berpendapat bahwa Bismillah itu wajib ditulis dipangkal setiap Surat, kecuali dipangkal Surat at-Taubah. Dikuatkan lagi dengan larangan keras Rasululloh s. a.w memasukkan kalimat-kalimat lain yang bukan temasuk kepadanya, Sehingga al­-Qur'an itu bersih daripada yang bukan wahyu. Sedangkan kalimat Amin yang jelas jelas diperintahkan membacanya oleh Rasulullah sehabis selesai membaca Waladh-dhallin, terutama di belakang imam  ketika sembahyang jahar, lagi tidak boleh dimasukkan atau dicampurkan ke dalam al-Qur'an, khususnya al-Fatihah, ketika menulis Mushaf, apatah lagi menambahkan Bismillahir-Rahmanir-Rahim di pangkal tiap-tiap Surat, kecuali Surat Baraah, kalau memang dia bukan termasuk surat itu.

Pendapat mereka ini dikuatkan lagi oleh sebuah Hadits yang dirawikan oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya, yang diterima dari Anas bin Malik, Berkata Rasulullah s.a.w

                     
"Telah diturunkan kepadaku tadi satu Surat. Lalu beliau baca : Bismilahir-Rohmanir-Rohim, sesungguhnya telah Kami berikan kepada engkau sangat banyak, maka sembahyanglah engkau kepada Tuhan engkau dan hendaklah engkau berkorban, sesungguhnya orang yang benci kepada engkau itulah yang akan putus keturunan"

Di dalam Hadits ini jelas bahwa di antara Bismillahir Rohmanir -Rohim dibaca senafas dengan Surat yang sesudahnya. Di sini berlakulah suatu Qiyas, yakni pada Surat Inna A'thoina yang paling pendek, lagi beliau baca senafas dengan Bismillah sebagai pangkalnya, apatah lagi al­Fatihah yang menjadi ibu dari segala isi al-Qur'an. Dan apatah lagi surat-surat yang panjang-panjang.

Dan sebuah Hadits lagi yang dirawikan ad-Daruquthni dari Abu Hurairah, berkata dia : Berkata Rasulullah s.a.w :


"Apabila kamu membaca Alhamdulillah yaitu Surat al-Fatihah maka bacalah Bismilllahir-Rahmanir-Rahim, maka sesungguhnya dia adalah ibu al-Qur'an dan Tujuh yang diulang-ulang, sedang Bismillahir Rahmanir Rahim adalah salah satu daripada ayatnya."

Demikianlah pendapat dan alasan pendapat dari Ulama-ulama yang berpendirian bahwa Bismillah dipangkal tiap-tiap Surat termasuk dalam Surat itu sendiri, bukan terpisah, bukan pembatas di antara satu surat dengan surat yang lain. Tetapi satu pendapat lagi, Bismillahir-Rohmanir-Rohim di pangkal surat itu adalah ayat tunggal, diturunkan untuk menjelaskan batas atau pemisah, jangan tercampur-aduk di antara satu Surat dengan yang lain. Yang berpendapat begini ialah Imam Malik dan beberapa Ulama Madinah. Dan Imam al-Auza'i serta beberapa Ulama di Syam dan Abu Amer dan Ya'kub dari Bashrah.

Dan ada pula satu pendapat tunggal dari Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu bahwa pada al-Fatihah sajalah Bismillahir Rohmanir Rohim itu termasuk ayat, sedang pada surat-surat yang lain tidak demikian halnya. Oleh karena masalah ini tidaklah mengenai pokok akidah, tidaklah kita salah jika kita cenderung kepada salah satu pendapat itu, mana yang lebih dekat kepada penerimaan ilmu kita sesudah turut menyelidiki. Adapun bagi penafsir mi. terlepas daripada menguatkan salah satu pendapat, maka di dalam menafsir Bismilahir-Rohmanir­-Rohim pada pembukaan al-Fatihah, kita jadikan dia ayat yang pertama, menurut Hadits Abu Hurairah yang dirawikan oleh ad-Daruquthni itu.

Dan tidak mungkin BismillahirRamanir-Rahim dimuka al-Fatihah itu disebut sebagai satu ayat pembatas dengan surat yang lain, karena tidak ada surat lain yang terlebih dahulu dari pada surat al-Fatihah. Karena itu maka Bismillahir-Rohmanir-Rohim yang pada al-Fatihah inilah yang kita tafsirkan lebih luas, sedang Bismillah yang 112 surat lagi hanya akan kita tuliskan terjemahannya saja. Sebab tentu saja membosankan kalau sampai 113 Bismillah ditafsirkan, dan 114 dengan Bismillah dalam surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Balqis dalam surat an-Naml itu.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
"Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah Maha Penyayang. " (ayat 1). 

Artinya, aku mulailah pekerjaanku ini, menyiarkan wahyu Ilahi kepada insan , di atas nama Allah itu sendiri , yang telah memerintahkan daku menyampaikannya.

Inilah contoh teladan yang diberikan kepada kita, supaya memulai suatu pekerjaan penting dengan nama Alloh. Laksana yang teradat bagi suatu kerajaan bila menurunkan suatu perintah, menjadi kuatlah dia kalau dia disampaikan "di atas nama penguasa tertinggi ", raja atau kepala negara, sehingga jelaslah kekuatan kata-kata itu yang bukan atas kehendak yang menyampaikan saja, dan nampak pertanggunganjawab. Nabi Muhammad s.a.w disuruh menyampaikan wahyu itu di atas nama Allah. Dia, Rasul Allah itu, tidaklah lebih dari manusia biasa, tetapi ucapan yang keluar dari mulutnya bukanlah semena-mena atas kehendaknya sendiri, tetapi Allahlah yang memerintahkan. Dari yang empunya nama itu dia mengambil kekuatan.

ALLAH, adalah Zat Yang Maha Tinggi, Maha Mulia dan Maha Kuasa. Zat pencipta seluruh alam langit dan bumi, matahari dan bulan, dan seluruh yang ada. DIA adalah yang wajibul wujud yang sudah pasti ADA, yang mustahil tidak ada.

Menurut keterangan Raghib orang Isfahan, ahli bahasa yang terkenal itu nama yang diberikan untuk Zat Yang Maha Kuasa itu ialah ALLAH. Kalimat ini telah lama dipakai oleh bangsa Arab untuk yang Maha Esa itu. Kalimat ALLAH itu -- demikian kata Raghib -­adalah perkembangan dari kalimat Al-Ilah. Yang dalam bahasa melayu kuno dapat diartikan Dewa atau Tuhan. Segala sesuatu yang mereka anggap sakti dan mereka puja mereka sebutkan dia AL-ILAH. Dan kalau hendak menyebutkan banyak Tuhan, mereka pakai kata Jama' yaitu AL-ALIHAH.

Tetapi pikiran murni mereka telah sampai kepada kesimpulan bahwa dari tuhan-tuhan dan dewa-dewa yang mereka katakan banyak itu, hanya SATU jua yang Maha Kuasa, Maha Tinggi, Maha Mulia: Maka untuk mengungkapkan pikiran kepada Yang Maha Esa itu mereka pakailah kalimat ILAH itu, dan supaya lebih khusus kepada Yang Maha Esa itu mereka cantumkan dipangkalnya ALIF dan LAM pengenalan (Alif-Lam-Ta'rif), yaitu AL menjadi AL-ILAH. Lalu mereka buangkan huruf hamzah yang di tengah, AL-I-LAH menjadi ALLAH. Dengan menyebut nama Alah tidak ada lagi yang mereka maksud melainkan Zat Yang Maha Esa. Maha Tinggi, Yang Berdiri sendirinya itulah , dan tidak lagi mereka pakai untuk yang lain. Tidak ada satu berhalapun yang mereka namai ALLAH.

Dalam al-Qur'an banyak bertemu ayat-ayat yang menerangkan, jika Nabi Muhammad s.a.w bertanya kepada musyrikin penyembah berhala itu siapa yang menjadikan semuanya ini pasti mereka akan menjawab : "Allahlah yang menciptakan semuanya !"
وَ لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّماواتِ وَ الْأَرْضَ وَ سَخَّرَ الشَّمْسَ وَ الْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ 
"Padahal jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan semua langit dan bumi, dan menyediakan matahari dan bulan, pastilah mereka akan menjawab : "Allah!"Maka bagaimanakah masih dipalingkan mereka. " (al-Ankabut: 61)

Dan banyak lagi Surat- surat lain mengandung ayat seperti ini. Setelah kita tinjau keterangan Raghib al-Isfahani dari segi pertumbuhan bahasa (filologi) tentang kalimat Allah itu, dapatlah kita mengerti bahwa sejak dahulu orang Arab itu di dalam hati sanubari mereka telah mengakui Tauhid Uluhiyah, sehingga mereka sekali- kali tidak memakai kalimat Allah untuk yang selain daripada Zat Yang Maha Esa, Yang Tunggal, yang berdiri sendiriNya itu. Dan tidak mau mereka menyebutkan Allah untuk beratus- ratus berhala yang mereka sembah. Tentang Uluhiyah, mereka telah bertauhid, cuma tentang Rububiyah yang mereka masih musyrik. Maka dibangkitkanlah kesadaran mereka oleh Rasul s.a.w supaya bertauhid yang penuh; mengakui hanya SATU Tuhan yang menciptakan alam dan Tuhan Yang Satu itu sajalah yang patut disembah, tidak yang lain.

Dalam bahasa Melayu kalimat yang seperti Rah itu ialah dewa dan tuhan. Pada batu bersurat Trengganu yang ditulis dengan huruf Arab, kira- kira tahun 1303 Masehi, kalimat Alloh Subhanahu Wa Ta'ala telah diartikan dengan Dewata Mulia Raya. (Batu bersurat itu sekarang disimpan di Museum Kuala Lumpur).

Lama-lama, karena perkembangan pemakaian bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, maka bila disebut Tuhan oleh kaum Muslimin Indonesia dan Melayu, yang dimaksud ialah ALLOH dan dengan hurup Latin pangkalnya (hurup T) dibesarkan, dan kata- kata dewa tidak terpakai lagi untuk mengucapkan Tuhan Allah. Dalam perkembangan memakai bahasa ini, di dalam memakai kalimat TUHAN, haruslah diingat bahwasanya berbeda maksud pemakaian itu di antara orang Islam dengan orang Kristen.

Kita orang Islam jika menyebut Tuhan, yang kita maksud ialah ALLOH. Zat yang berdiri sendiriNya, kepadaNya memohonkan segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada yang menandingi Dia sesuatu juapun. Tetapi kalau orang Kristen menyebut Tuhan, yang mereka maksud adalah Yesus Kristus.

Kadang ­kadang bercampur baur ; sebab menurut ajaran yang mereka pegang, bahwa Tuhan itu adalah "Trinitas", atau "Tri-tunggal ", yang tiga tetapi satu, yang satu tetapi tiga. Dia yang tiga tetapi satu itu ialah Tuhan Bapa, Tuhan Putera (Isa Almasih) dan Rohul-Kudus. Dan selalu mereka mengatakan "Tuhan Yesus".
Sebab itu walaupun sama- sama memakai kata TUHAN, tidaklah sama arti dan pengertian yang dikandung.

Pemakaian kalimat Tuhan dalam kata sehari- hari akhirnya terpisah pula jadi dua ; Tuhan khusus untuk Allah dan tuan untuk menghormati sesama manusia. Untuk raja disebut Tuanku.

Yang terpenting terlebih dahulu ialah memupuk perhatian yang telah ada dalam dasar jiwa, bahwa Zat Yang Maha Kuasa itu mustahil berbilang. Adapun tentang pemakaian bahasa terhadapNya, dengan nama apa Dia mesti disebut, terserahlah kepada perkembangan bahasa itu sendiri.
Selain dari pemakaian bahasa Melayu tentang Tuhan itu, sebagian bangsa kitapun memakai juga kalimat lain untuk Allah itu. Dalam bahasa Jawa terhadap Allah disebut Gusti Allah, padahal dalam bahasa Melayu Banjar, Gusti adalah gelar orang bangsawan.

Demikian juga kalimat Pangeran untuk Allah dalam bahasa Sunda, padahal di daerah lain Pangeran adalah gelar bangsawan atau anak raja. Dalam bahasa Bugis dan Makassar disebut Poang Allah Ta'ala. Padahal kepada raja atau orang tua yang dihormati mereka pengucapkan Poang juga. Orang Hindu Bali, meskipun mereka menyembah berbagai berhala, namun mereka tetap percaya kepada Sang Hyang Widhi, artinya Yang Maha Esa.

 Kepercayaan agama Hindupun sampai kepada puncak tertinggi sekali, yaitu kepada Sang Hyang Tunggal. Lantaran itu dapatlah dipahami keterangan Raghib al-Isfahani yang menyatakan bahwa ALLAH itu berasal dari kalimat AL-ILAH yang berarti Tuhan itu.

Adanya kalimat AI-Rah membuktikan bahwa kepercayaan-kepercayaan tentang adanya Tuhan telah tumbuh sejak manusia berakal, dan timbulnya kalimat ALLAH membuktikan bahwa pikiran manusiapun akhirnya sampai kepada, bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa itu hanya SATU.

Maka kedatangan agama Islam ialah menuntut dan menjelaskan bahwa DIA memang SATU adanya.
Setelah itu diiringkanlah menyebut nama ALLAH itu dengan menyebut sifatnya, yaitu AR-ROHMAN dan AR-ROHIM. Yang kedua nama sifat itu adalah dari satu rumpun, yaitu ROHMAT, yang berarti murah, kasih sayang, cinta, santun, perlindungan dan sebagainya. Apa sebab maka kedua sifat itu yang terlebih dahulu dijelaskan sebelum menyebut sifat-sifatNya yang lain ?.

Hal ini dapatlah dipahami jika kita kaji penghayalan orang yang masih sederhana peradabannya (primitif) tentang Tuhan. Sebagai kita katakan tadi, kepercayaan akan adanya. Zat Yang Maha Kuasa, adalah sama tumbuh dengan akal manusia. Tetapi sebagian besar mereka menggambarkan 'Tuhan itu sebagai sesuatu yang amat ditakuti atau menakutkan, scram dan kejam yang orang terpaksa memujanya oleh karena akan murkanya. Lalu diadakan kurban-kurban sembelihan, sebab Tuhan itu haus darah, lalu didirikan orang berhala yang bentuknya sangat scram, matanya mendelik, saingnya terulur keluar, yang tidak reda murkanya kalau tidak diberi kurban.

Maka seketika bacaan dimulai dengan menyebut nama Allah, dengan kedua sifatNya yang Rahman dan Rahim, mulailah Nabi Muhammad menentukan rumusan baru dan yang benar tentang Tuhan. Sifat utama yang terlebih diketahui dan dirasakan oleh manusia ialah bahwa DIA Rohman dan Rohim.
Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Sayang kepada hambaNya maka utusanNya , Muhammad s.a.w telah menyampaikan seruan ini kepada manusia.

Yang lebih dahulu mempengaruhi jiwa ialah bahwa Allah itu Pemurah dan Penyayang, bukan Pembenci dan Pendendam, bukan haus kepada darah pengurbanan. Dan contoh yang diberikan Nabi itu pulalah yang kita ikuti, yaitu memulai segala pekerjaan dengan nama Allah, yang empunya beberapa sifat Yang Mulia, di antaranya ialah Rohman dan Rohim. Maka didalam bacaan itu tersimpullah suatu Pengharapan atau doa moga-moga apa saja yang kita kerjakan mendapat karunia Rohman dan Rohim dari Tuhan. DimudahkanNya kepada yang baik, dijauhkan kiranya dari yang buruk. Maka tersebutlah di dalam sebuat hadits Nabi s.a.w yang dirawikan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah yang berbunyi :
"Tiap-tiap pekerjaan yang penting, kalau tidak dimulai dengan Bismillah, dengan nama Allah, maka pekerjaan itu akan percuma jadinya'. 
Berbagai-bagai sebutan hadits tentang ini; ada yang mengatakan bahwa pekerjaan itu akan ajdzam, artinya akan ditimpa sakit kusta atau lepra. Ada juga hadits mengatakan aQtho, artinya akan terputus, patah di tengah, atau gagal. Dan ada juga menyebut abtar, artinya mandul, tidak membawa hasil yang diharapkan. Semuanya itu dapat disimpulkan jadi percuma, sebab tidak diberi berkat oleh Allah.
Maka marilah kita teladan contoh Allah, bahwa Surat-suratNya atau ayat-ayat yang diturunkanNya kepada kita, dimulainya dengan menyebut namaNya dan menonjolkan sifatNya, yaitu Rohman dan Rohim.
الحمد لله
"Segala puji pujian untukAllah."(pangkal ayat 2)
Hamdan, artinya pujian, sanjungan. Di pangkalnya sekarang diletakkan Al atau Alif-lam, sehingga menjadilah bacaannya Al-hamdu. Al mencakup segala jenis. Dengan sebutan Alhamdu, beratilah bahwa segala macam pujian, sekalian apa juapun macam pujian, baik puji besar ataupun puji kecil, atau ucapan terimakasih karena jasa seseorang, kepada siapapun kita memberikan puji, namun pada hakikatnya, tidaklah seorang juga yang berhak menerima pujian itu, melainkan Allah: LILLAFII, hanya semata-mata untuk Alloh.

Jadi dapatlah dilebih-tegaskan lagi ALHAMDULILLAHI, segala puji-pujian hanya untuk Alloh. Tidak ada yang lain yang berhak mendapat pujian itu. Meskipun misalnya ada seseorang berjasa baik kepada kita, meskipun kita memujinya, namun hakikat puji hanya kepada Allah. Sebab orang itu tidak akan dapat berbuat apa-apa kalau tidak karena Tuhan Yang Maha Pemurah dan Penyayang tadi. Kita puji seorang insinyur atau arsitek karena dia mendapat ilham mendirikan sebuah bangunan yang besar dan indah. Tetapi kalau kita pikirkan lebih mendalam, dari mana dia mendapat ilham perencanaan itu kalau bukan dari'I"uhan. Oleh sebab itu kalau kita sendiri dipuji­puji orang, janganlah lupa bahwa yang empunya puji itu ialah Allah, bukan kita.

Nabi kita Muhammad s.a.w ketika dengan sangat jayanya telah dapat menaluklukkan negeri Mekkah, beliau masuk ke dalam kota itu dengan menunggang untanya yang terkenal, al-Qashwa'. Sahabat sahabat beliau gembira dan bersyukur karena apa yang dicita-citakan selama ini telah berhasil. Namun beliau tidaklah mengangkat muka dengan pongah karena kemenangan itu, melainkan dirundukkannya wajahnya ke bawah, lekat kepada leher unta kesayangannya itu, mensyukuri nikmat Allah dan mengucapkan puji-pujian.
رب العالمين
"Pemelihara semesta alam. " (ujung ayat 2)
Atau Tuhan dari sekalian makhluk , atau Tuhan seru sekalian alam. Pada umumnya arti alam ialah seluruh yang ada ini , selain dari Allah. Setelah dia menjadi jama' ini, yaitu menjadi kalimat `alamin , berbagailah dia ditafsirkan orang. Setengah panafsiran mengatakan bahwa yang dimaksud dengan alamin ialah makhluk insani, ditambah dengan malaikat, jin dan syaitan. Tetapi di dalam al-Qur'an sendiri pernah bertemu kata `alamin itu hanya dikhususkan maksudnya untuk manusia saja (lihat Surat al-Hijr, ayat 70).Yaitu ketika kaum Nabi Luth menyatakan kepada Luth, mengapa dia rnenerima tetamu dengan tidak setahu mereka, padahal dia telah dilarang menerima kedatangan or­ang-orang.

Setelah terlebih dahulu kita dikenalkan kepada Alloh sebagai Al­loh yang Tunggal , sekarang kita dikenalkan lagi kepada Alloh sebagai Robbun. Kata Robbun ini rneliputi segala macam pemeliharaan, penjagaan dan juga pendidikan dan pengasuhan. Maka kalau di dalam ayat yang lain kita bertemu bahwa Alloh itu kholaqo, artinya menjadikan dan menciptakan, maka di sini dengan menyebut Alloh sebagai Robbun, kita dapat mengerti bahwa Alloh itu bukan semata­ mata pencipta, tetapi juga pemelihara.

Bukan saja menjadikan, bahkan juga mengatur. Seumpama matahari, bulan, bintang-bintang dan bumi ini ; sesudah semuanya dijadikan, tidaklah dibiarkan sehingga begitu saja, melainkan dipelihara dan dikuasai terus menerus. Betapalah matahari, bulan dan bintang-bintang itu akan beredar demikian teraturnya, dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, hari ke hari , jam kejam , menit ke menit dan detik ke detik , berjalan teratur telah berjuta­juta tahun, kalau bukan pemeliharaan dari Allah sebagai Robbun ? Manusiapun begitu. Dia bukan semata-mata dijadikan bahkan sejak masih dalam keadaan nuthfah (air setitik kecil), sampai menjadi alaqoh dan mudhqhoh, sampai muncul ke dunia, sampai menjadi makhluk yang berakal dan sampai juga meninggal kelak , tidaklah lepas dari tilikan Alloh sebagai Pencipta dan sebagai Pemelihara.

Untuk semua pemeliharaan, penjagaan, pendidikan dan perlindungan itulah kita diajar mengucapkan puji kepadaNya : "Robbul `Alamin", Tuhan seru sekalian alam. Kalau kita pertalikan lagi dengan beberapa penafsiran tentang `alamin tadi, bahwa yang dimaksud ialah makhluk manusia, dapatlah kita pahamkan betapa tingginya kedudukan insan, sebagai khalifah Alloh, di tengah-tengah alam yang luas itu.
Maka di dalam ayat pembukaan ini, kita telah bertemu langsung dengan tauhid, yang mempunyai dua paham itu, yaitu tauhid Uluhiyah pada ucapan Alhamdu Lillahi. Dan tauhid Rububiyah pada ucapan Robbil `Alamin.
Dan sudahlah jelas sekarang bahwa dalam ayat
الحمد لله رب العالمين
"Segala puji pujian adalalz kepunyaan Alloh, Pemelihara dari sekalian alam" 
itu telah mengandung dasar tauhid yang dalam sekali. Tidaklah ada yang lain yang patut dipuji, melainkan DIA.
الرحمن الرحيم 
"Yang Maha Pemurah, Yang .Maha Penyayang".(ayat 3) 
Atau bisa juga diartikan Yang Pengasih, lagi Penyayang.
Ayat ini menyempurnakan rnaksud dari ayat yang sebelumnya. Jika Allah sebagai Rabb, sebagai pemelihara dan pendidik bagi seluruh alam tidak lain maksud dan isi pendidikan itu, melainkan karena Kasih sayangNya semata dan karena murahNya belaka, tidaklah dalam memberikan pemeliharaan dan pendidikan itu rnenuntut keuntungan bagi diriNya sendiri. Bukan sebagai sesuatu pemerintahan mengadakan suatu pendidikan "kader" dan latihan pegawai, ialah karena mengharapkan apabila orang-orang yang dididik itu telah lepas dari pendidikan, akan dapat dipergunakan menjadi pegawai yang baik. Pemeliharaan yang Dia berikan adalah pertama karena Ar-Rahman maknanya ialah bila sifat Allah Yang Rahman itu telah membekas dan berjalan ke atas hambaNya. nertamta h tinggi kecerdasan hamba itu, bertambah terasa olehnya betapa Ar-Rohman Allah terhadap dirinya, dan sifat Ar-Rohim ialah sifat yang tetap pada Allah. Maka Ar-Rohman ialah setelah sifat itu terpaksa pada hamba, dan Ar-Rohim ialah pada keadaannya yang tetap clan tidak pernah padam-padamnya pada Tuhan. Dan keduanya itu adalah sama mengandung akan sumber kata yaitu Rohmat.

Nanti dalam berpuluh ayat al-Qur'an, kita akan bertemu keterangan betapa Rahman dan RahimNya bagi seluruh makhluk , terutama bagi kita manusia. Bukankah matahari dan bulan dan bintang-bintang, semuanya itu rahmat dari Tuhan kepada kita ? Bagaimana jadinya kita hidup di dunia, kalau misalnya agak dua hari saja matahari tidak terbit ? Kita manusia kadang-kadang lupa akan Rahmat, karena kita tidak pernah dipisahkan dari Rahmat. Seumpama orang yang berdiam di kota besar yang telah teratur aliran listriknya dan penerangan lampu-lampu, dan telah teratur pula pipa saluran air.

Mereka baru ingat akan Rahmat adanya penerangan lampu yang teratur dan aliran air yang telah masuk sampai ke dalam rumahnya itu ialah bilamana satu kali ada kerusakan di sentral listrik atau ada kebocoran pada pipa air. Di waktu semua beres, kerap dia lupa. Setelah terganggu baru dia ingat.

Rahmat llahi, pancaran daripada sifatNya yang Rohman dan yang Rohim , yang Murah dan Kasih Sayang dapat kita rasai apabila kita lihat induk ayam mengekaskan kakinya mencarikan makanan untuk anak-anaknya. Dipecah-pecahkannya remah kecil yang didapatkannya, lalu dipanggil-panggilnya anak-anaknya dengan kerkotat-kotat, maka anak-anaknya itupun berlari-lari menuju makanan itu, dan induk nya sendiri tidak mengambil bagian dari makanan itu.

Dan apabila datang bahaya dengan tiba-tiba, dikejar yang hendak mengganggu itu seekor gajah besar. Dia tidak perduli bahwa dirinya akan hancur lumat diinjak gajah, sebab dia didorong oleh sifat Rahmat yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, untuk mempertahankan anak-anaknya. Dan jika panas sangat terik, dia pergi ke pinggir pagar untuk berteduh dan dilindunginya anak-anaknya dalam naungan sayapnya, clan ada anak-anak itu yang memanjat ke atas punggungnya. Ditahankan karena kasahnya.

Rahmat Ilahi pun nampak pada dua ekor burung, seekor jantan, seekor betina; yang betina sedang mengerami telurnya clan jantan terbang mencari makanan dan membawanya pulang, terbang lagi dan pulang lagi, sedang mulutnya menggonggong sebutir makanan kecil. Keduanya benyanyi, bercericik, bersiul yang bunyinya dapat kita rasai, penuh dengan Rahmat.

Apatah lagi dapat kita lihat pada seorang ibu ketika melahirkan anak. Sembilan bulan badan payah. Datang rayuan anak akan lahir, diapun tidur, Selompat hidup, selompat mati. Si suami berjalan jalan sekitar rumah dengan dada berdebar-debar, dipengaruhi dengan rasa cemas dan harap, cemas kalau-kalau isteri yang dicintai diserang bahaya hingga maut karena melahirkan, dan harap moga-moga si anak lahir dengan selamat, dan ibunya selamat pula.

Demikianlah beratnya penderitaan mengandung; bidan telah sedia menolong, dan setelah ditunggu dengan harap dan cemas, lahirlah anak itu, kedengaran tangisnya, si buyung atau si upik. Dengan kedengaran tangis itu, kelihatanlah wajah si ibu lega, hilang kepayahannya, kadang-kadang matanya tertidur sejenak, diliputi oleh Rahmat Ilahi. Dia sudah lupa sama sekali akan kepayahannya, diobati oleh tangis anaknya yang baru Iahir itu. Dan si suami yang telah mondar-mandir sejak tadi di luar kamar bersalin, setelah diberitahu bahwa anaknya sudah lahir, anak dan ibu selamat, kadang-kadang menangislah dia karena sangat terharu. Rahmat Tuhan telah dimasukkan ke dalam jiwa mereka semuanya.

Kabarnya konon di satu kota di Amerika Serikat, ada sebuah kuburan kecil tidak berapa jauh dari Stasiun kereta api, yaitu kuburan dari seekor anjing. Asal mulanya ialah karena sangat setianya anjing itu kepada tuannya, maka setiap tuannya berpegian dia turut mengantarkan ke stasiun, dan petang hari di waktu pulangnya, diapun pergi menjemputnya. Demikianlah berlaku tiap hari. Dia diantar dan dijemput oleh anjingnya.

Tetapi pada suatu hari, seketika dia menjemput lagi sebagai biasa, tuannya ditunggunya tiada turun dari kereta api. Besoknya dijemputnya juga, namun tuannya tidak juga pulang. Di jemputnya terus tiap hari, dari hari ke hari, bulan ke bulan; namun tuan yang ditunggu tidak juga pulang. Siapakah yang akan memberitahukan kepadanya bahwa tuannya tidak akan pulang lagi; sebab dia telah meninggal di tempat lain karena suatu kecelakaan . Maka pada suatu hari bertemulah orang bahwa anjing itu telah mati kedinginan di tempatnya biasa menunggu tuannya pulang itu.

Semua orang, penduduk di sekitar stasiun itu tahu kisah tentang anjing setia itu. Maka dari rasa Rahmat IIahi yang ada dalam hati penduduk di sana, dikuburkanlah anjing itu dengan upacara yang layak; diberi tanda dan di tulis pada tanda itu. "kuburan seekor anjing yang setia".

Maka pertalian anjing itu dengan tuannya adalah pertalian Rahmat llahi, yang ada dalam jiwa si tuan dan dimasukkan pula ke dalam naluri si anjing .Binatang-binatang itupun kadang-kadang mempunyai naluri yang mendalam sekali tentang Rahmat yang ada di hati manusia. Perhatikanlah naluri kucing yang terus saja duduk ke atas pelukan seorang tetamu yang baru sekali ziarah ke rumah orang yang memeliharanya. Atau mendekat dan meminta diberi makan, meskipun sekali itu baru bertemu dan dia tidak mendekat kepada tetamu lain yang sama-sama duduk. Dia diberi naluri oleh Tuhan bahwa di dalam hati tetamu itu ada Rahmat.

Satu kejadian yang pernah terjadi ialah seketika ayah dan guru saya Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah akan meninggal dunia. Ada seekor kucing dalam rumah beliau yang sangat dikasihinya. Biasanya beliau sendiri yang memberinya makan di piring khusus. Dan kalau beliau pulang dari mana-mana, beliau tanyakan kepada orang di rumah sudahkan si Manis diberi makan ?

Ketika beliau telah mulai sakit payah, kucing itu duduk terus di dekat pembaringan beliau. Tetapi satu hal yang sangat ajaib kejadian. Sehari sebelum beliau meninggal kucing itu hilang dari dekat tempat tidur beliau. Setelah hari sore kucing itu tidak juga muncul, dan beliau sudah mulai payah, dan tidak menanyakan lagi tentang si Manis ! Seketika orang menimba air sumur, kelihatanlah si Manis telah menjadi bangkai di dalam sumur itu. Kematian si Manis tidak diberitahukan lagi kepada beliau, sebab beliau dalam sakaratul maut. Pagi-pagi besoknya, sehari meninggal kucingnya, beliaupun meninggal.

Dengan melihat kasih-sayang suami isteri dan ayah terhadap anak, nenek terhadap cucu. Dengan melihat kasih-sayang di antara binatang, burung-burung dengan berbagai jenisnya, dapatlah kita mengetahui betapa besarnya Rahman dan Rahim Allah atas makhluk, dan akan sirnalah rasa benci, dengki dan dendam dari hati kita. Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w. :

"Orang-orang yang ada rasa Rahim akan dirahmati oleh Tuhan yang Rahman yang memberikan berkat dan Maha Tinggi. Sayangilah orang-orang yang di bumi, supaya kamu disayangi pula oleh yang di langit. "(Dirawikan oleh lmam Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan al-Hakim dari hadits Abdulah bin Umar). "
Sampai-sampai kepada masyarakat, pergaulan hidup yang adil dan makmur di atas dunia ini, disebutkan di dalam ayat yang lain ialah masyarakat yang mengandung MARHAMAH, yaitu kasih mengasihi, cinta-mencintai, bantu-membantu, dari rasa kemurahan dan kesayangan.
مالك يوم الدين
"Yang menguasai Hari Pembalasan " (ayat 4)
Kita artikan yang menguasai, apabila Maliki kita baca dengan memanjangkan Ma pada Maliki. Dan kita artikan "Yang Empunya Hari Pembalasan ", kalau kita baca hanya Maliki saja dengan tidak memanjangkan Ma

Di sini dapatlah kita memahamkan betapa arti ad-din. Kita hanya biasa rnemberi arti ad-din dengan agama. Padahal diapun berati pembalasan. Memang menurut Islam segala gerak-gerik hidup kita yang kita laksanakan tidak lepas dari lingkungan agama, dan tidak lepas dari salah satu hukum yang lima: wajib, sunnat, haram, makruh dan jaiz. Dan semuanya kelak akan diperhitungkan dihadapan hadirat Tuhan di akhirat; baik akan diberi pembalasan yang baik, buruk akan diberi pembalasan yang buruk. Dan yang memberikan itu adalah Tuhan sendiri, dengan jalan yang seadil-adilnya.

Apabila kita telah membaca sampai di sini, timbulah perimbangan perasaan dalam kalbu kita. Jika tadi seluruh jiwa kita telah diliputi oleh rasa Rahmat, pancaran Rahman dan Rahim Tuhan, maka dia harus dibatasi dengan keinsafan, bahwa betapapun Rahman dan RahimNya namun D'ra adil juga. Memang ada manusia yang karena amat mendalam rasa Rahmat dalam dirinya, dan meresap ke dalam jiwanya kasih saya.flug yang balas membalas, memberi dan menerima dengan Tuhan , Lalu dia beribadat kepada Tuhan dan berbuat bakti. Tetapi ada juga manusia yang tidak menghargai dan tidak memperdulikan Rahman dan Rahim Tuhan, jiwanya diselimuti oleh rasa benci, dengki, khizit dan khianat. Tidak ada rasa syukur, tidak ada terima-kasih. Jahatnya lebih banyak dari baiknya. Kadang-kadang pandai dia menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Sampai dia mati keadaan tetap demikian.Tentu ini pasti mendapat pembalasan.

Di dunia ini yang ada hanya penilaian, tetapi tidak ada pembalasan manusia. Banyak manusia tercengang melihat orang zalim dan curang, tetapi oleh karena "pandainya" main, tidak berkesan meskipun orang tahu juga. Dan banyak pula orang yang jujur, berbuat baik, namun penghargaan tidak ada. Atau sengaja tidak dihargai karena pertarungan-pertarungan politik.

Di dunia ini tidak ada pembalasan yang sebenarnya dan di sini tidak ada perhitungan yang adil
Dan mata keridhaan gelap tidak melihat cacat sebagai juga mata kebencian hanya melihat yang buruk saja.

Maka apabila Ar-Rahrnan dan Ar-Rahim telah disambungkan dengan Maliki yaumiddin, barulah seimbang pengabdian dan pemujaan kita kepada Tuhan. Hidup tidalc berhenti hingga kini saja, akan ada sambungannya lagi, yaitu hari pembalasan, hari agama yang sebenarnya.

Kita memuji Allah pemelihara seluruh alam clan pendidiknya, kita memujiNya, karena Rahman dan RahimNya dan kitapun memujiNya, karena buruk clan baik yang kita kerjakan di dunia ini tidak terbuang percuma, melainkan akan diperhitungka.n dan dibalasi dengan adil di akhirat.

Kalau sudah kita rasai dan kita percaya bahwa Dia Maha Pemurah dan Penyayang, tetapi juga dapat berlaku keras kepada yang melanggar,sebab dia meziguasai penuh akan hari pembalasan, bagaimana sikap manusia lagi ? Dan kemana kita hendak membelok lagi ? Masih adakah Tuhan lain yang seperti ALLOH ? Tidak ada !

Kita mengharapkan kasih sayang dan kemurahanNya, dan kitapun takut akan pembalasanNya.
Jiwa kita terombang di antara Khauf, artinya takut, dan raja', artinya harap. Maka lanjutan bunyi ayat :
إياك نعبد و إياك نستعين
"Engkaulah yang kami sembah, Dan Engkaulah tempat kami memohon pertolongan. "(ayat 5)
Kalimat Iyyaka, kita artikan Engkaulah, atau boleh dilebih dekatkan lagi maknanya dengan menyebut hanya Engkau sajalah yang kami sembah. Di sini terdapat iyyaka dua kali ; hanya Engkau sajalah yang kami sembah dan hanya Engkau saja tempat kami memohonkan pertolongan. Kata Na'budu kita artikan, kami sembah dan Nasta 'inu kita artikan tempat kami memolion pertolongan.

Kalau ada lagi kata lain dalam bahasa kita yang lebih mendekati maksud yang terkandung di dalamnya, bolehlah kita usahakan juga. Sebab dalam hati sanubari kita sendiripun terasa bahwa arti itu belum tepat benar, meskipun sudah mendekati. Kata na'budu berpangkal dari kalimat ibadat dan nasta'inu berpangkal dari kalimat isti'anah.

Lebih murnilah kita rasakan maksudnya kalau kita sebut ibadat saja. Karena meskipun telah kita pakai arti dalam bahasa kita yaitu sembah atau kami sembah, namun hakikat ibadat hanya khusus kepada Allah, sedangkan dalam bahasa kita kalimat sembah itu terpakai juga kepada raja ; di Minangkabau kalau ahli-ahli pidato adat sambut menyambut pidato secara adat, mexeka namai juga sembah-menyembah. Jadi kalau kita artikan "Hanya kepada Engkau kami beribadat barangkali lebih tepat, apatah lagi kalimat ibadat itupun telah menjadi bahasa kita.

Kalimat Isti'anah pun menghendaki keterangan yang panjang. Kalau rnenurut bahasa saja, apabila kita meminta tolong kepada seorang teman menyampaikan pikiran kita kepada anak kita di tempat yang jauh, atau meminta tolong mengangkat lemari karena terlalu berat mengangkat sendiri, dalam bahasa di sebut Isti'anah juga, padahal yang demikian tidak terlarang oleh agama.

Kita bukakan hal ini untuk mengetahui betapa sukarnya menterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain, terutama lagi bahasa agama, terutama lagi Arab dalam al-Qur'an yang turun sebagai Wahyu Ilahi. Makanya kita menguatkan pendapat sebagian besar Ulama agar disamping terjemah atau tafsir, tidak boleh tidak, hendaklah asli tulisan Arabnya dibawakan supaya orang lain yang mengerti dapat menyesuaikan maknanya dengan aslinya.

Di dalam ayat ini bertemulah kita dengan tujuan. Dengan ayat ini kita menyatakan pengakuan bahwa hanya kepadaNya saja kita memohonkan pertolongan; tiada kepada orang lain.

Sebagaimana telah kita maklumi pada keterangan di atas, .Allah adalah Tuhan Yang Mencipta dan Memelihara. Dia adalah Rabbun, sebab itu Dia adalah IIahi. Tidak ada Rah yang lain, melainkan Dia. Oleh karena Dia Yang Mencipta dan Memelihara, maka hanya Dia pula yang patut di sembah. Adalah satu hal yang tidak wajar, kalau Dia menjadikan dan memelihara, lalu kita menyembah kepada yang lain.
Oleh sebab itu, maka ayat yang 5 ini memperkuat lagi ayat yang kedua
"Segala puji pujian bagi Allah , Pemelihara dari sekalian alam". 
Hanya Dia yang patut dipuji, karena hanya Dia sendiri yang menjadikan dan memelihara alam, tidak bersekutu dangan yang lain. Alhamdu di atas didahulukan menyebutkan bahwa yang patut menerima pujian hanya Allah, sebab hanya Dia yang mencipta clan memelihara alam.

Sedang pada ayat Iyyaka rta'budu ini lebih jelas lagi, hanya kepadaNya dihadapkan sekalian persembahan dan ibadat, sebab hanya Dia sendiri saja, tidak bersekutu dengan yang lain, yang memelihara alam ini.

Maka mengakui bahwa yang patut disembah sebagai Ilah hanya Allah, dinamai Tauhid Uluhiyah. Dan mengakui yang patut untuk memohon pertolongan, sebagai Robbun hanya Allah, dinamai Tauhid Rububiyah.

Untuk misal yang mudah tentang Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah ini ialah seumpama kita ditolong oleh seorang teman, dilepaskan dari satu kesulitan. Tentu kita mengucapkan terima-kasih kepadanya. Adakah pantas kalau kita ditolong misalnya oleh si Ahmad, lalu kita mengucapkan terima-kasih kepada si Hamid ? Maka orang yang mengakui bahwa yang menjadikan alam dan memelihara alam ialah Allah juga, tetapi menyembah kepada yang lain, adalah orang itu musyrik. Tauhidnya sendiri pecah belah; menerima nikmat dari Allah mengucapkan terima-kasih kepada berhala.

Sekarang tentang arti ibadat.

Arti yang luas daripada IBADAT ialah memperhambakan diri dengan penuh keinsafan dan kerendahan. Dan dipatrikan lagi oleh cinta. Kita mengakui bahwa kita hambaNya, budakNya. Kita tidak akan terjadi kalau bukan Dia yang menjadikan.

Kita beribadat kepadaNya disertai oleh raja', yaitu pengharapan akan kasih dan sayangNya, cinta yang hakiki, tidak terbagi pada yang lain. Sehingga jikapun kita cinta kepada yang lain, hanyalah karena yang lain itu nikrnat dari Dia. Misalnya kita mencintai anak dan isteri, harta dan benda. Atau kita mencintai tanah air tempat kita dilahirkan, ataupun yang lain-lain.

Semuanya itu adalah karena dianya nikmat dari Dia. Tidak dapat kita mencintai yang lain langsung, di samping mencintai Dia. Karena kalau ada cinta lain di samping cinta kepadaNya, itulah cinta yang terbagi. Apabila telah terbagi, itulah pangkal dari syirik.
Dan tidak ada pula yang lain yang kita puja atau kita sembah yang berupa ibadat. Karena yang lain itu semuanya adalah makhlukNya belaka.

Kita diperintahNya hormat kepada yang patut dihormati. Kita disuruhNya kasih kepada ibu bapak. Setia kepada negara dan raja atau kepala negara, dan kita diperintahkanNya supaya hormat kepada guru. Semuanya itu kita kerjakan karena Allah yang menyuruhkan. Tetapi kita tidak akan sampai beribadat kepada ayah bunda, atau kepada negara, raja dan kepada kepala negara, atau kepada guru.
Kemudian datanglah isti'anah, yaitu memohonkan pertolongan.

Pada ayat ini kita disuruh mengucapkan pengakuan bahwa hanya Dia tempat kita memohonkan pertolongan. Dengan demikian kita akui sendirilah bahwa kita sendiri tidaklah berkuasa buat mencapai segala rencana yang telah kita cadangkan di dalam hidup ini. Tenaga kita sangat terbatas, dan kita tidak akan sampai kalau tidak Tuhan yang menolong.

Sebagai telah diterangkan di atas tadi, dengan menyebut Iyyaka nasta'inu telah terkandung lagi Tauhid di dalam memohonkan pertolongan. Dengan mendahulukan Iyyaka, yang berarti hanya Engkau saja, sudah lebih tegas lagi maksudnya daripada misalnya kita berkata Nasta'inuka, yang berarti kami meminta tolong kepada Engkau.

Dan diapun menimbulkan kekuatan di dalam jiwa kita. bahwa kita tidak mengharapkan pertolongan dari yang lain, sebab yang lain tidak berkuasa dan tidak ada daya-upaya buat menolong kita.

Jangan kita campur adukkan di antara isti'anah dengan mu'awanah. Di dalam hal memohon pertolongan, kita tetap hanya kepada Allah. Tetapi di antara kita rnanusia sesama manusia, mal:hluk sesama makhlukpun diperintah oleh Allah supaya bertolong-tolongan, berkoperasi, itu namanya bukan isti 'anah, tetapi mu 'awanah. Di dalam Surat al-Maidah, surat 5 ayat 2, Tuhan bersabda, agar hendaklah kita tolong-menolong di dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah kita tolong-menolong di dalam hal dosa dan permusuhan. Tetapi di dalam ayat, mu'awanah jika berternu lagi intisari pertahanan isti'anah. Artinya, sebagai muslim yang sadar akan nilai imannya, di dalam isti 'anah kita tetap hanya kepada Tuhan. Tetapi terhadap orang lain kita sudi menolong sebab melaksanakan perintah Tuhan juga. Kita tahu sabda Nabi, bahwa tangan di atas lebih balk dari tangan yang di bawah.

Setiap orang berusaha dan bekerja menurut bakatnya. Dokter menolong orang sakit, dan orang sakit datang meminta tolong dan diberi obat. Guru menolong muridnya dengan mengajarnya tulis dan baca dan ilmu yang lain. Semuanya itu jangan dicampur adukan dengan isti'anah, sebab itu semuanya adalah hubungan manusia sesama manusia. Memang yang kuat hendaklan menolong yang lemah, yang kaya menolong yang miskin. Dan semua itu adalah dalam rangka meminta tolong kepada Allah juga.

Maka tolong menolong, yang satu meminta tolong kepada yang lain, clan yang lain meminta tolong kepada yang satu di dalam urusan kehidupan sehari-hari, tidaklah terlarang, karena itu bukan di dalam rangka memandang bahwa tempat manusia tolong itu sebagai ternpat beribadat. Di atas manusia yang tolong menolong itu ada lagi kekuasaan yang tertinggi memutuskan dengan mutlak, dan Maha Kuasa memberikan atau menahan, melangsungkan atau menggagalkan. Itulah kekuasaan Tuhan, kekuasaaxxNya rneliputi akan seluruhnya. KepadaNyalah kita bersama sesudah bertolong-tolongan sesama kita, memohon petunjuk, memohonkan diberi kekuatan, dihasilkan yang di cita-citakan, dituntun sebaik-baiknya kepada yang balk dan yang benar.

Tauhid dengan jalan isti'anah membangkitkan kekuatan pada diri sendiri, supaya langsung berhubungan dengan Tuhan, yang menjadi sumber dari segala kekuatan. Memohonkan pertolongan kepada Tuhan bukanlah kelemahan, tetapi di sanalah terletak kekuatan. Hanya orang yang tolol yang mengaku bahwa dirinya sanggup berbuat segala yang dia kehendaki.
Adapun orang yang berilmu, maka ilmunya itulah yang menunjukkan kepadanya bahwa dia tidak sanggup mengetahui segalanya.

Berkali-kali kita merencanakan suatu hal. Maka setelah dimulai menjalankan rencana itu, di tengah jalan kita bertemu hal-hal yang sama sekali tidak dalam rencana kita. Mengertilah kita bahwa ada kekuatan tertinggi yang di luar dari kemampuan kita. Taruhlah kita dapat mengatasi dengan meminta tolong kepada orang lain, sesama manusia. Tetapi kelak akan ketahuan pula ada lagi kekuatan tertinggi, yang oleh bersamapun tidak dapat di atasi. Maka lantaran itu selalulah kita mengingat bahwa tempat memohon pertolongan yang tertinggi adalah Tuhan. Dialah Tuhan dengan namaNya Ar Robb.

Memohon pertolongan dengan dasar Tauhid itulah yang masuk akal. Sebab itu tidaklah kita memohon pertolongan misalnya kepada kuburan seorang guru atau orang alim yang kita pandang keramat. Atau meminta tolong kepada berhala, atau meminta tolong kepada keris pusaka. Dengan kalimat Iyyaka nasta'inu tadi, yang berarti "Hanya kepada Engkau saja aku meminta tolong," jelaslah bahwa kita tidak akan meminta pertolongan kepada yang lain dengan cara demikian. Sebab yang lain itu tidak masuk akal bahwa dia dapat menolong.
Ayat ini diikuti lagi oleh ayat yang berikutnya :

 اهدنا الصراط المستقيم
"Tunjukilah kami jalan yang lurus" (ayat 6), 

Meminta ditunjuki dan dipimpin supaya tercapai jalan yang lurus. Menurut keterangan setengah ahli tafsir, perlengkapan menuju jalan yang lurus, yang dimohonkan kepada Allah itu ialah,pertama al-Irsyad, artinya agar dianugerahi kecerdikan dan kecerdasan, sehingga dapat membedakan yang salah dengan yang benar.

Kedua at-Taufiq, yaitu bersesuaian hendaknya dengan apa yang direncanakan'Iuhan. Ketiga al-Ilham, diberi petunjuk supaya dapat mengatasi sesuatu yang sulit. Keempat ad-Dilalah, artinya ditunjuk dalil-dalil dan tanda-tanda dimana tempat berbahaya, dimana yang tidak boleh dilalui dan sebagainya. Seumpama tanda-tanda yang dipancangkan di tepi jalan, berbagai macamnya, untuk memberi alamat petunjuk bagi pengendara kendaraan bermotor.

Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, menurut beliau yang dimaksud dengan meminta ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki agamaMu yang benar.

Menurut beberapa riwayat dari ahli-ahli hadits, daripada Jabir bin Abdullah yang dimaksud dengan Shirothol Mustaqim ialah Agama Islam. Dan menurut beberapa riwayat lagi, Tbnu Mas'ud mentafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Shirothol Mustaqim ialah Kitab Allah (al-Qur'an).

Menurut yang dirawikan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, an-Nasa.'i, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Abu Syaikh, al-Hakim, Ibnu Mardawaihi dan al-Baihaqi sebuah Hadits Rasulullah s.a.w diriwayatkan daripada an-Nawwas Ibnu Sam'an, pernah Rasulullah s.a.w berkata :

" bahwasanya Allah Ta'ala telah membuat satu perumpamaan tentang Shirothol Mustaqim itu ; bahwa di kedua belah jalan itu ada dua buah dinding tinggi. Pada kedua dinding tinggi itu ada beberapa pintu terbuka, dan di atas tiap-tiap pintu itu ada lelansir penutup (gordiyn). Sedang diujung jalan tengah yang lurus (Shirothol Mustaqim) itu ada seorang berdiri memanggil-manggil :

"Wahai sekalian manusia, masuklah ke dalam Shirat ini semuanya, jangan kamu berpecah belah", dan ada pula seorang penyeru dari atas Shirat.

Maka apabila manusia hendak membuka salah satu dari pintu-pintu itu berkatalah dia : "Celaka ! Jangan engkau buka itu ! Kalau dia engkau buka, niscaya engkau akan terperosok ke dalam."

Maka kata Rasulullah selanjutnya : Jalan Shirat itu ialah Islam, dan kedua dinding sebelah menyebelah itu ialah segala batas-batas yang ditentukan Allah. Dan banyak pintu­pintu terbuka itu ialah segala yang diharamkan Allah. Penyeru yang menyeru di ujung jalan itu ialah Kitab Allah, dan penyeru yang menyeru dari atas ialah Wa'izh (Pemberi Nasihat) dari Allah yang ada dalam tiap-tiap diri Muslim".                                                 

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa Hadits ini hasan lagi shohih.

Maka semua penafsiran tadi dapatlah digabungkan menjadi satu Shirathal Mustaqim memang agama yang benar, dan itulah Agama Islam. Dan sumber petunjuk dalam Islam itu tidak lain ialah al-Qur'an, dan semuanya dapat diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad s.a.w dan sahabat-sahabat beliau yang utama.

Hanya seorang Ulama saja mengeluarkan tafsir agak sempit, yaitu Fudhail bin Iyadh. Menurut beliau Shirothol Mustaqim ialah jalan pergi naik Haji. Memang dapat menunaikan Haji sebagai rukun Islam yang kelima, dengan penuh keinsafan dan kesadaran, sehingga mencapai Haji yang Mabrur, sudah sebagian daripada Shirath al Mustaqim juga.

Apatah bagi orang semacam Fudhail bin Iyadh sendiri, adapun bagi orang lain belum tentu naik Haji itu menjadi Shirathal Mustaqim, terutama kalau dikerjakan karena riya, mempertontonkan kekayaan, mencari nama, atau sebagai politik untuk mencari simpati rakyat yang bodoh. Dengan ayat ini kepada kita telah ditunjukkan apa yang amat penting kita mohonkan pertolongan kepadaNya. Mohon ditunjuki jalan yang lurus.

Kita telah ditakdirkanNya hidup di dunia mi. Melalui hidup di dunia ini, samalah artinya dengan melalui suatu jalan. Kita takut akan bahaya dan ingin selamat dalam perjalanan itu. Kita mau yang baik dan tidak mau yang buruk. Kita mau yang manfaat dan tidak mau yang mudharat. Dengan ayat-ayat yang di atas kita telah memulai membaca dengan namaNya. Kita telah mengakui bahwa Dia Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Kita telah memuji Dia, sebagai Tuhan Pemelihara, Pendidik sekalian alam. Dan kita telah mengakui bahwa kekuasaanNya meliputi dunia dan akhirat.

Dia Rahman dan Rahim, tetapi Dia juga menguasai dan mempunyai Hari Pembalasan. Lantaran itu semuanya kita telah, menyerah kepadaNya ; kepadaNya saja> tidak kepada yang lain. Sehingga kita telah menyatakan tekad bahwa yang kita sembah hanya Dia dan tempat kita memohon pertolongan hanya Dia. Sekarang setelah penyerahan demikian mulailah kita memasukkan permohonan puncak dari segala permohonan, yaitu agar supaya ditunjuki jalan yang lurus. Kitapun mengaku bahwa petunjuk itu sejak lahir ke dunia telah diberikan secara berangsur. Pertama sejak mulai lahir telah diberi kita persediaan petunjuk pertama, sehingga bila terasa lapar kita menangis, bila terasa basah kitapun menangis ; dan sejak lahir telah diberi petunjuk kita bagaimana mencucut susu ibu.

Dan setelah itu dengan berangsur-angsur, dari hari ke hari bulan ke bulan berangsur kita dapat membedakan bunyi yang didengar dan warna yang dilihat. Dalam masa perangsuran itu kita diberi naluri untuk perlengkapan hidup, sebagai yang diberikan sekaligus kepada binatang. Tetapi pada binatang terhenti hingga demikian saja, dan pada kita manusia diteruskan lagi dengan pertumbuhan akal dan pikiran.

Akallah yang memperbaiki kesalahan pendapat pancaindera, mata melihat dan merasa seketika kereta api yang kita tumpangi berhenti di sebuah stasiun dan bahwa dia telah berangkat pula, padahal yang berangkat itu belum kereta api yang kita tumpangi itu, melainkan kereta api yang disebelahnya. Dan lain-lain sebagainya. Mata melihat tongkat yang lurus di dalam air menjadi bengkok, sedang akal menolaknya.

Tetapi akal saja belumlah cukup menjadi pedoman. Sebab dalam diri kita sendiri bukan akal dan panca indera saja yang harus diperhitungkan. Kita perhitungkan juga syahwat dan hawa nafsu kita, demikian juga naluri-naluri yang lain. Kita kepingin makan dan minum, supaya hidup. Supaya berketurunan kita ingin mempunyai teman hidup ; laki-laki rnencari perempuan dan perempuan menunggu laki-laki. Kita ingin mempunyai apa-apa, kita ingin mempunyai persediaan.

Kita ingin orang lainpun ingin. Untuk mencari apa yang kita ingini itu kita pergunakan alCal, dan orang lain untuk mencari keinginannya mempergunakan akalnya pula. Kadang-kadang seluruh orang mengingini satu macam barang, maka terjadilah perebutan. Mendapatlah siapa yang lebih cerdik atau lebih kuat.

Kadang-kadang nampak satu hal yang diperlukan dan sangat diingini. Dipakailah segala daya-upaya untuk mencapainya. Kemudian setelah didapat ternyata membawa celaka pada diri. Ada hal yang pahit mulanya dan manis ujungnya. Dan ada pula sebaliknya. Dengan demikian maka pengalaman manusia menunjukkan bahwa akal saja tidaklah cukup untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.

Mesti ada tuntunan terhadap akal itu sendiri. Itulah Hidayat Agama. Untuk itulah Rasul-rasul diutus dan Kitab-kitab wahyu diturunkan. Rasul-rasul dan Kitab-kitab wahyu itu diutus dan dikirim Allah, Tuhan seru sekalian alam, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara.

Dengan perantara Rasul itulah Tuhan mengatakan bahwa dibelakang hidup yang sekarang ini ada lagi Hari Akhirat. Untuk memperhitungkan perbuatan dalam perjalanan hidup itu, bagaimana pemakaian panca indera dan bagaimana pemakaian akal, adakah dia membawa maslahat bagi diri sendiri dan bagi sesama manusia dan bagi hubungan dengan Allah.

Itulah yang kita mohonkan kepada Allah, agar kita ditunjuki jalan yang lurus itu.
Menurut pelajaran ilmu ukur ruang, garis lurus ialah jarak yang paling dekat di antara dua titik. Maka di dalam Shirathal Mustaqim yang kita mohonkan ini, dua titik itu ialah : yang pertama titik kita sebagai hamba, yang kedua titik Allah sebagai Tuhan kita.

Kita berjalan menuju Dia dan kita datang dari Dia. Mau atau tidak mau, namun kita adalah dari Dia, menuju Dia, dan bersama Dia. Oleh karena banyaknya rintangan, kerapkali kita lupa akan hal itu. Atau ada mengetahui, tetapi tidak tahu jalan mana yang akan ditempuh. Kadang-kadang disangka sudah jalan lurus itu yang ditempuh, padahal sudah terbelok kepada yang lain.

Kita memohon agar Dia sendiri menujuki kita jalan lurus itu, sehingga sampai dengan cepat kepada yang dituju, jangan membuang waktu pada usia yang hanya sedikit, merencah-rencah dan terperosok ke jalan lain.

Maka yang diminta ialah agar seluruh keperibadian kita, yang mengandung akal, nafsu syahwat, perasaan, kemauan, terkumpul menjadi satu dalam petunjuk hidayah Tuhan.

Inilah puncaknya permohonan, yang tadi pada ayat sebelumnya telah kita nyatakan, bahwa hanya kepadaNya saja kita memohon pertolongan, kita tidak hendak meminta benda. Kita tidak meminta rum ah bagus, kekayaan melimpah, dan lain-lain hal yang remeh. Kita memohonkan pokoknya yaitu petunjuk. Dan yang lain adalah terserah. Kalau petunjuk jalan lurus itu tidak diberi, walaupun yang lain hal yang remeh diberikanNya, maka yang lain itu besar kemungkinan akan mencelakakan kita. Kemudian permohonan jalan yang lurus itu kita jelaskan lagi
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
"Jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat atas mereka " (pangkal ayat 7)
Kita telah mendengar berita, bahwa terdahulu dari kita, Tuhan Al­lah telah pernah mengaruniakan nikmatNya kepada orang-orang yang telah menempuh jalan yang lurus itu, sebab itu maka kita mohon kepada Tuhan agar kepada kita ditunjukkan pula jalan itu. Telah ada Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang diutus Tuhan, dan telah ada pula or­ang-orang yang menjadi syahid dan telah ada pula orang-orang yang shalih; semuanya dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan karena menempuh jalan itu. Bekasnya kita rasakan dari jaman ke jaman. Oleh sebab itu maka kita memohonkan pulalah agar kepada kita diberikan pula petunjuk supaya kita menempuh jalan itu dengan selamat.

Inilah yang kita rnohonkan dengan Isti'anah kepada Tuhan, dengan berpedoman kepada al-Qur'a.n. Kita mohonkan, tunjuki kiranya kami mana yang benar, karena yang benar hanya satu, tidak terbilang. Metode atas rencana yang benar di dalam menegakkan akhlak, budi bahasa, pergaulan hidup, filsafat, Iqtishad (perekonomian), ijtima' (kemasyarakatan) dan siasat (pohtik) dan sebagainya. Sebab jalan di atas dunia ini terlalu banyak simpang siurnya jangan sampai kita menjadi "Datuk segala Iya", atau sebagai pucuk aru yang mudah dicondongkan angin ke mana dia berkisar. Minta ditunjuki jalan tengah yang lurus yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma : "Arang habis besi binasa".

Kami memohon, pimpin kiranya karni ke jalan itu, jalan bahagia yang pernah ditempuh oleh manusia-manusia yang Engkau cintai dan mencintai Engkau, yang menegakkan jalan terang di dunia ini.

Sekali-kali bukanlah karni meminta "kulit" nikmat. Di luar kelihatan menang, padahal di batin kami kalah. Di luar kelihatan mewah, padahal jiwa kering dan gersang, karena tidak pernah disirami oleh air hujan hidayatMu. Kami tidak memohonkan yang demikian. Yang kami mohonkan ya Tuhanku, ialah nikmat yang kekal abadi, nikmat akan menjadi suluh kami di dalam hidup di dunia ini, dan bekal yang akan kami menghadap Engkau di akhirat, diliputi oleh ridha Engkau.

Apabila Allah telah menganugerahkan nikmat ridhaNya kepada seseorang hamba, tercapailah olehnya puncak kebahagiaan jiwa di dalam hidup yang sekarang ini. Permulaan dari ridha Allah itu ialah bilamana telah tumbuh dalam jiwa keinsafan beragama, menjadi Is­lam yang berarti menyerah diri sukarela kepada Tuhan, dan iman yang berarti kepercayaan yang penuh. Islam dan Iman menimbulkan ihsan, yaitu bekerja terus memperbaiki dan mempertinggi mutu jiwa. Maka timbullah Nur di dalam jiwa, cahaya yang memberi sinar kepada kehidupan.

Dan cahaya itu jugalah yang akan menyuluhinya sampai ke akhirat. Nikmat inilah yang kita mohonkan ; tercapai hendaknya oleh kita kehidupan sebagai Nabi-nabi, Rasul-rasul dan syuhada dan shalihin itu. Karena kalau nikmat itu telah datang, telah tercapailah oleh kita kekayaan yang sejati. Dengan kekayaan itu kita tidak merasa takut menghadapi hidup dengan segala tanggungjawabnya bahkan merekapun tidak gentar menghadapi maut, sebab maut hanyalah perkisaran sejenak daripada hidup fana kepada hidup yang khulud. Berapa banyaknya orang yang mati, rnenjadi korban karena menegakkan IMannya kepada 'Iuhan, namun jejak kebenaran yang mereka tinggalkan dipusakai oleh anak cucu.
"Bukan jalan mereka yang dimurkai atasnya. "
Siapakah yang dimurkai Tuhan ? Ialah orang yang telah diberi kepadanya petunjuk, telah diutus kepadanya Rasul-rasul telah diturunkan kepadanya kitab-kitab Wahyu, namun dia masih saja memperturutkan hawa nafsunya. Telah ditegur berkali-kali, namun teguran itu, tidak juga diperdulikannya. Dia merasa lebih pintar daripada Allah, Rasul-rasul dicemoohkannya, petunjuk Tuhan diletakkannya ke samping, perdayaan syaitan diperturutkannya.

Dalam hikayat lama ada disebutkan bahwa pada suatu hari seorang pejabat besar kerajaan datang menghadap raja bersama-sama dengan pejabat besar-besar yang lain, setelah masuk ke dalam majelis raja, maka baginda menunjukkan wajah yang girang dan tersenyum simpul melihat tiap-tiap pejabat besar itu, tetapi kepada seseorang baginda yang tidak melihat, entah karena lupa, entah karena sibuk. Maka sangatlah duka cita hati pejabat besar yang seorang itu. Apakah baginda murka kepadanya, ataukah baginda tidak senang lagi. Maka setelah bubar majelis itu diapun kembali pulang kerumahnya dengan hati sedih, lalu di minumnya racun setelah rnenulis sepucuk surat yang di wasiatkannya supaya disampaikan ketangan baginda. Di situ dia tuliskan : "Oleh karena Sri Paduka tidak berkenan lagi kepada patik, telah patik ambil keputusan menghabisi hidup patik. Karena tidak ada harga hidup lagi kalau Sri Paduka tidak senang lagi melihat patik."

Begitulah perasaan orang yang berkhidmat kepada raja apabila dia merasa bahwa rajanya tidak senang lagi kepadanya. Maka betapalah perasaan kita wahai insan yang ghafil, kalau Tuhan Allah yang murka kepada kita ? Kitapun akan dihadirkan juga ke hadapan Tuhan bersama orang yang lain, tetapi kalau Tuhan murka kepada kita, akan betapalah sikap kita. Dan Tuhanpun bersabda memang ada orang yang tidak akan dilawan bercakap oleh Tuhan pada waktu itu karena murkaNya, sebagaimana tersebut di dalam Surat 3 Ali-Imran ayat 77 tentang orang yang memperjual-belikan janji Allah dan mempermudah-mudah sumpah, karena mengharapkan harga yang sedikit. Padahal walaupun mendapat tukaran harga sebesar bumi dan langit, masih amat sedikit juga, karena ada yang akan dibawa ke akhirat.

"Itulah orang yang tidak ada bagian untuk mereka di akhirat dan tidaklah Allah akan bercakap dengan mereka dan tidak akan memandang kepada mereka di hari kiamat dan tidak Dia akan membersihkan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih. " (Ali-Imran 77)

Dan seperti itu pula tertulis pada Surat al-Baqarah, ayat 179, Tidak diajak bercakap oleh Tuhan, tidak dipandang oleh Tuhan, seakan-akan Tuhan dalam bahasa umum "membuang muka" apabila berhadapan dengan dia. Begitulah nasib orang yang dimurkai.

Orang yang dimurkai ialah yang sengaja keluar dari jalan yang benar karena memperturutkan hawa nafsu, padahal dia sudah tahu. Orang yang telah sampai kepadanya kebenaran agama, lalu ditolak dan ditentangnya. Dia lebih berpegang kepada pusaka nenek moyang, walaupun dia telah tahu bahwa itu tidak berat. Maka siksaan azablah yang akan dideritanya.
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
"Dan bukan jalan mereka yang sesat". (ujung ayat 7).
Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani-berani saja membuat jalan sendiri diluar yang digariskan Tuhan. Tidak mengenal kebenaran, atau tidak dikenalnya menurut maksud yang sebenarnya.

Sebagaimana telah kita kenal pada keterangan-keterangan di atas, tentang kepercayaan akan adanya Tuhan, sampai orang-orang Arab mengkhususkan nama Allah buat Tuhan Yang Maha Esa. Di sini telah kita maklumi bahwa kepercayaan kepada Tuhan itu telah ada dalam lubuk jiwa manusia. Tetapi kepercayaan tentang adanya Allah itu belumlah menjadi jaminan bahwa orang itu tidak akan sesat lagi. Di Eropa pernah timbul suatu gerakan bernama Deisme ; dengan dasar penyelidikan akal murni, mereka mengakui bahwa Tuhan itu memang ada. Tetapi mereka tidak mau percaya akan adanya Rasul, atau Wahyu,atau hari akhirat. Kata mereka dengan kepercayaan akan adanya Al­lah itu saja sudah cukup, agama tidak perlu lagi.

Tentang ketuhanan, ahli filsafat terbagi kepada dua golongan . Yaitu golongan Spiritualis dengan golongan Materialis. Golongan yang percaya adanya yang ghaib, terutama Tuhan, yang hanya percaya kepada benda saja, sudah nyata tersesat. Yang percaya ada Tuhan saja, tetapi tidak percaya akan adanya syariat yang diturunkan Allah dengan mengutus Nabi-nabi dan menurunkan wahyu, itupun tersesat, sebab penilaian mereka tentang adanya Tuhanpun berbagai ragam, sehingga ada aliran Pantheisme, yang mengatakan bahwa seluruh yang ada ini adalah Tuhan belaka, atau Polytheisme, yaitu yang mengatakan Tuhan itu berbilang.

Orang-orang yang telah mengaku beragamapun bisa juga tersesat. Kadang-kadang karena terlalu taat dalam beragama, lalu ibadat ditambah-tambah daripada yang telah ditentukan dalam syariat, sehingga timbul bid'ah. Disangka masih dalam agama, padahal sudah terpesong keluar.

Ada sebuah Hadits yang shahih, dirawikan oleh Abdulah bin Humaid dari ar-Rabbi' bin Anas, dan riwayat Abdulah bin Humaid juga daripada Mujahid, demikian juga daripada Said bin Jubair dan Hadits lain yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan lain-lain daripada Abdullah bin Syaqiq, daripada Abu Zar, dan dirawikan juga oleh Sufyan bin Uyaynah dalam tafsirnya, daripada Ismail bin Abu Khalid, bahwa seketika orang bertanya kepada Rasulullah tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat.

Lalu Rasulullah menjawab :
"Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat ialah Nasrani."
Hadits ini dengan berbagai jalan Asbabul Wurudnya dan riwayatnya telah tercantum pada kitab-kitab tafsir yang masyhur. Tetapi dia meminta penafsiran kita sekali lagi. Yang wajib kita tekankan perhatian kita ialah kepada sebab-sebab maka Yahudi dikatakan kena murka dan sebab- sebab Nasrani tersesat.

Perhatian kita jangan hanya ditujukan kepada Yahudi dan Nasraninya saja, tetapi hendaklah kita tilik sebab mereka kena murka dan sebab mereka tersesat. Yahudi dimurkai, sebab mereka selalu mengingkari segala petunjuk yang dibawa oleh Rasul mereka, kisah pengingkaran Yahudi itu tersebut di dalam kitab-kitab mereka sendiri sampai sekarang, sehingga Nabi Musa pernah mengatakan bahwa mereka itu " keras tengkuk", tak mau tunduk, sampai mereka membunuh Nabi-nabi. Sebab itu Allah murka.

Nasrani tersesat karena sangat cinta kepada Nabi Isa al-Masih, mereka katakan Isa itu anak Allah, bahkan Allah sendiri menjelma menjadi anak, datang ke dunia menebus dosa manusia.

Maka bagi kita umat Islam yang membaca al-Fatihah ini sekurangnya 17 kali sehari semalam, hendaklah diingat jangan sampai kita menempuh jalan yang akan dimurkai Allah pula, sebagai Yahudi. Apabila satu kali kita telah memandang bahwa pelajaran yang lain lebih baik dan berguna daripada pelajaran Nabi Muhammad s.a.w maka mulailah kita diancam oleh kemurkaan Tuhan.

Di dalam Surat an Nisa (Surat 4, ayat 65), sampai dengan sumpah Tuhan menyatakan bahwa tidaklah mereka beriman sebelum mereka bertahkim kepada Nabi Muhamad s.a.w di dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, dan mereka tidak merasa keberatan menerima keputusan yang beliau putuskan, dan merekapun menyerah sebenar-benar menyerah, kalau ini tidak kami lakukan, pastilah kita kena murka seperti Yahudi.

Dan kalau kita katakan pula misalnya bahwa Nabi Muhammad s.a.w. itu adalah "al-Haqiqatul Muhammadiyah", atau "Nur Muhammad", yaitu Allah Ta'ala sendiri yang menjelmakan diri (Ibraza Haqiqatihi), ke dalam alam ini sebagai anutan setengah ahli tasauf, niscaya sesatlah kita sebagai Nasrani. Saiyid Rasyid Ridha di dalam 'al-Manarnya menguraikan penafsiran gurunya Syaikh Mohammad Abduh tentang orang yang tersesat , terbagi atas empat tingkat :

Pertama : Yang tidak sampai kepadanya dakwah, atau ada sampai tetapi hanya didapat dengan pancaindera dan akal, tidak ada tuntunan agama. Meskipun di dalam soal-soal keduniaan mungkin mereka tidak sesat, namun mereka pasti sesat dalam mencari pelepasan jiwa dan kebahagiaannya di akhirat. Siapa yang tidak menikmati agama tidaklah dia akan merasai nikmat dari kedua kehidupan itu.

Akan berjumpalah bekas kekacauan dan kegoncangan dalam kepercayaan sehari-hari, diikuti oleh macam-macam bahaya dan krisis yang tidak dapat di atasi. Yang demikian adalah Sunnatullah dalam alam ini, yang tidak dapat jalan lain untuk mengelakkannya. Adapun nasib mereka di akhirat kelak, nyatalah bahwa kedudukan mereka tidak sama dengan orang yang beroleh hidayat dan petunjuk. Mungkin juga diberi maaf oleh Tuhan, karena dia berbuat sekehendakNya.

Kedua : Sampai kepada mereka dakwah, atas jalan yang dapat membangun pikiran ; merekapun telah mulai tertarik oleh dakwah itu, tetapi sebelum sampai menjadi keimanannya, diapun mati.

Bagian ini terdapat pada orang-orang seorang dalam satu-satu bangsa, tidak umum, sehingga tidak ada kesannya kepada masyarakat banyak. Adapun nasib orang -orang seperti ini kelak, menurut pendapat Ulama-ulama Mazhab Asyari, diharapkan juga moga-moga mereka mendapat Rahmat belas-kasihan Tuhan. Abul Hasan Asy'ari sendiri berpendapat demikian.

Tetapi menurut pendapat Jumhur ( golongan terbesar) Ulama, tidaklah diragukan bahwa persoalan mereka lebih ringan daripada persoalan orang yang mengingkari sama sekali, yakni orang yang tidak percaya akan nikmat akal dan yang lebih senang dalam kejahilan.

Ketiga : Dakwah sampai kepada mereka dan mereka akui, tetapi tidak mereka pergunakan akal buat berpikir dan menyelidiki dari pokoknya, tetapi mereka berpegang teguh juga kepada hawa nafsu atau kebiasaan lama atau menambah-nambah. Inilah tukang-tukang bid'ah tentang akidah, inilah orang, yang i'tikadnya telah jauh menyeleweng dari al-Qur'an dan dari teladan yang ditinggalkan Salaf. Inilah yang membawa pecah ummat.

Keempat : Yang sesat dalam beramal, atau memutar-mutarkan hukum dari maksud yang sebenarnya. Seumpama orang yang mengelak supaya jangan sampai dia mengeluarkan zakat. Setelah dekat habis tahun dipindahkannya pemilikan harta itu kepada orang lain, misalnya kepada anaknya dan setelah lepas masa membayar zakat itu, dengan persetujuan berdua, anak itu menyerahkan pula kembali kepadanya. Dengan demikian dia merasa bangga karena telah merasa berhasil mempermainkan Tuhan Allah, disangkanya Tuhan Allah bodoh !

Kesesatan orang-orang ini timbul dari kepintaran otak tetapi batinnya kosong daripada iman. Diruntuhkan agamanya , tetapi dia sendiri yang hancur.
Sekian kita ringkaskan dari keterangan tentang orang yang sesat, adh-dhoolin menurut pembagian Ustadz Imam Muhammad Abduh.

Maka kalau sudah sampai kepada derajat yang keempat itu, meskipun umat tadi masih kelihatan beragama pada kulitnya, masih terletak merk lslam pada lainnya, dan masih diberi tanda "hijau" * dalam peta negerinya, samalah artinya dengan agamanya tidak ada lagi. Akan beruntunlah kecelakaan menimpa umat itu, kecuali apabila datang pembaharuan (tajdid) dan pembangkitan semangat.
Kalau pembaharuan tidak datang , umat itu akan hancur dan hilang , mungkin kelaknya berbondong keturunannya memeluk agama lain yang lebih kuat mengadakan propaganda.

Al-Fatihah Sebagai Rukun Sembahyang

oleh karena al-Fatihah satu Surat yang menjadi Rukun (tiang) sembahyang, baik sembahyang fardhu yang lima waktu, ataupun sekalian sembahyang yang sunnat dan nawafil, maka dalam hal ini tidaklah cukup kalau kita hanya sekedar menafsirkan arti al-Fatihah, melainkan kita perlengkap lagi dengan hukum atau ketentuan Syariat berkenaan dengan al-Fatihah. Segala sembahyang tidak sah , kalau tidak membaca al-Fatihah. tersebut dalam hadits-hadits:
Dan hendaklah dibaca pada tiap- tiap rakaat , karena Hadits :
1. Daripada Ubadah bin as-Shamit, bahwasannya Nabi s. a. w berkata: "Tidaklah ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang tidak membaca Fatihatil Kitab. " (Dirawikan oleh al-Jamaah)
2. Dan pada lafadz yang lain : " Tidaklah memadai sembahyang bagi siapa yang tidak mernbaca Fatihatil-Kitab."  (Dirawikan oleh ad­Daruquthni, dan beliau berkata bahwa isnad Hadits ini sahih).
3. "Tidaklah diterima sembahyang kalau tidak dibaca padanya Ummul­Quran. " (Dirawikan oleh Imam Ahmad)

Dengan hadits-hadits ini dan beberapa Hadits lain sama bunyinya, sependapatlah sebagian besar Ulama Fiqh bahwa tidak sah sembahyang selain daripada membaca al-Fatihah, walaupun Surat yang mana yang kita baca. Demikianlah Mazhab Imam Malik, Imam Syafi'i dan jumhur Ulama, sejak dari sahabat- sahabat Rasulullah, sampai kepada tabi'in dan yang sesudahnya. Oleh sebab itu baik Imam atau Makmum, wajiblah semuanya membaca al-Fatihah di dalam sembahyang.

4. "Dari Abu Qatadah, bahwasanya Nabi s. a. w adalah beliau tiap-tiap raka'at membaca Fatihatil- kitab." (Dirawikan oleh Bukhari)

Selain dari itu sunnah pula sesudah membaca al-Fatihah itu diiringkan pula dengan Surat-surat yang mudah dibaca dan dihapal oleh yang bersangkutan ; karena ada Hadits :

5. "Dia menyuruh kita supaya membaca al-Fatihah dan mana-mana yang- mudah. " (dirawikan oleh Abu Daud daripada Abu Said al Khudri).

Berkata Ibnu Sayidin Nas : "Isnad Hadits ini shahih dan rijalnya semua dapat dipercaya."
Mengiringi al-Fatihah dengan surat-surat yang mudah itu ialah pada sembahyang Subuh dan dua rakaat permulaan dari sembahyang yang lain dan pada sembahyang Jum'at.
Kalau imam sedang membaca dengan jahar hendaklah makmum berdiam diri dan mendengarkan dengan baik. Yang boleh dibaca makmum sedang imam membaca hanyalah al-Fatihah saja, supaya bacaan imam jangan terganggu.

6. "Daripada Ubadah, berkata dia bahwa satu ketika Rosululloh s. a. w. Sembahyang Subuh, maka memberati kepadanya bacaan. Maka tatkala sembahyang telah selesai, berkatalah beliau : Saya perhatikan kamu membaca. Berkata Ubadah : Kami jawab : Ya Rosululloh, memang kami membaca. Walloh. Lalu berkata beliau : jangan lakukan itu, kecuali dengan Ummul Qur'an. Karena sesunggguhnya tidaklah sah sembahyang bagi barangsiapa yang tidak membacanya."

(Hadits dirawikan oleh Abu Daud dan Tirmidzi).
Dan sebuah Hadits lagi dari Ubadah juga; dengan lafadz lain:

7. Dari Ubadah bahwasanya Rosululloh s. a. w. pernah berkata: "sekali­ kali jangan seorangpun di antara kamu membaca sesuatu dari al-Qur'an, apabila aku menjahar, kecuali dengan Ummul Qur'an. " (Dirawikan oleh Ad-Daruquthni)

Dan ada lagi beberapa Hadits yang lain yang bersamaan maknanya yaitu kalau imam menjahar, yang boleh dibaca oleh makmum di belakang imam yang menjahar itu hanyalah al-Fatihah saja, tetapi tidak boleh dengan suara keras, supaya jangan terganggu imam yang sedang membacanya.

Sungguhpun demikian ada juga perselisihan ijtihad di antara Ulama-ulama fikih tentang membaca di belakang iman yang sedang menjahar itu. Kata setengah ahli ijtihad, kalau imam membaca jahar, hendaklah makmum berdiam diri mendengarkan, sehingga al-Fatihahpun cukuplah bacaan imam itu saja didengarkan. Mereka berpegang kepada sebuah hadits

8. "Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rosululloh s.a.w. berkata: Sesungguhnya Imam itu lain tidak telah dijadikan menjadi ikutan kamu. Maka apabila dia telah takbir, hendaklah kamu takbir pula dan apabila dia membaca, maka hendaklah kamu berdiam diri. "
(Dirawikan oleh yang berlima, kecuali Tirmidzi. Dan berkata Muslim: "Hadits ini Shahih")

Dan mereka kuatkan pula dengan ayat 204 dari pada surat 7 (Surat al-A'raf)

"Dan apabila dibaca orang al-Qur'an, maka dengarkanlah olehmu akan dia dan berdiam dirilah supaya kamu diberi rahmat. " (al-A'raf : 204) 

Maka buah ijtihad dari golongan yang kedua ini, meskipun dihormati juga golongan yang pertama, tetapi tidaklah dapat menggoyahkan pendirian mereka bahwa walaupun Imam membaca jahar namun makmum masih wajib membaca al-Fatihah di belakang Imam. Sebab kata mereka baik hadits yang dirawikan Abu Hurairah tersebut, ataupun ayat dari akhir surat al A'raf itu ialah perintah yang aam, sedang hadits Ubadah dan Haditst-hadits yang lain itu adalah khash. Maka menurut ilmu Ushul dalam hal yang seperti ini ada undang-undangnya, yaitu:

"Membinakan yang aam atas yang khas adalah wajib"

Jadi kalau kita nyatakan secara lebih mudah dipahami ialah : Isi ayat surat al-A'raf ialah memerintahkan kita mendengar dan berdiam diri ketika Al-Qur'an dibaca orang. Itu aam atau umum di mana saja, kecuali ketika menjadi makmum di belakang imam yang menjahar. Maka pada waktu itu perintah mendengar dan berdiam diri itu tidak berlaku lagi, sebab Nabi telah mengatakan bahwa tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah. Maka kalau dia mendengarkan bacaan Imam saja dan berdiam diri, padahal dia disuruh membaca sendiri di saat itu tidaklah sah. sembahyangnya.

Hadits Abu Hurairahpun umum menyuruh takbir apabila Imam telah takbir dan berdiam diri, apabila Imam telah membaca. hiipun umum. Maka dikecualikanlah dia oleh hadits Ubadah tadi, yang menegaskan larangan Rasulullah membaca apa-apa juapun, kecuali al-Fatihah.
Dan datang pula sebuah Hadits Anas bin Malik, dirawikan oleh Tbnu Hibban, demikian bunyinya :

9. Berkata Rasulullah s. a. w. : " Apakah kamu membaca di dalam sembahyang yang kamu di belakang Imam, padahal Imam sedang membaca ? Jangan berbuat begitu. Tetapi hendaknya membaca tiap seorang kamu akan Fatihatul Kitab di dalam dirinya." (Artinya, baca dengan tidak keras-keras) 

Oleh sebab itu maka golongan pertama tadi menjalankari kedua maksud ini, yaitu mereka menetapkan membaca al-Fatihah, di belakang Imam yang menjahar, tetapi tidakboleh keras, supaya jangan terganggu Imam yang sedang membaca. Dan apabila telah selesai membaca al-Fatihah, merekapun menjalankan maksud hadits, yaitu berdiam diri mendengarkan segala bacaan Imam yang lain.

Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang kalau ada orang yang berhenti sama sekali membaca al-Fatihah karena berpegang pada Hadits Abu Hurairah dan ayat 104 surat al-A'raf tadi , pegangannya ialah semata-mata ijtihad hendaklah di hormati. Adapun penulis tafsir ini, kalau orang bertanya, manakah di antara kedua paham itu yang penulis merasa puas hati memegangnya, maka penulis menjawab :

" Aku memegang paham yang pertama , yaitu walaupun Imam menjaharkan bacaannya, namun sebagai makmum penulis tetap membaca al-Fatihah untuk diri sendiri. Karena payah penulis hendak mengenyampingkan Hadits yang terang tadi, yaitu tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah".

Adapun waktu membacanya itu, apakah seketika Imam berdiam diri sejenak, atau seketika dia membaca ? Maka Ulama-ulama dalam Mazhab Syafi'i, berpendapat boleh didengarkan Imam itu terlebih dahulu membaca al-Fatihah dan dianjurkan supaya Imam berhenti sejenak mernberi kesempatan kepada makmum supaya mereka membaca al-Fatihah pula. Tetapi kalau Imam itu tidak berhenti sejenak, melainkan terus saja membaca ayat atau surat-surat yang mudah sehabis membaca al-Fatihah, maka sehabis Imam itu membaca al-Fatihah, terus pulalah si makmum membaca al-Fatihah sedang Imam itu membaca surat. Dan sehabis membaca al-Fatihah itu hendaklah si makmum berdiam diri mendengarkan apa yang dibaca Imam sampai selesai.

                                       Di Antara Jahar Dan Siir

Selain dari khilafiyah tentang Bismillah (Basmallah) apakah dia terrnasuk ayat di pangkal suatu surat atau hanya dalam surat an­Naml itu saja, timbul pula pertikaian pendapat tentang; apakah ketika membaca al-Fatihah dan Surat yang berikutnya pada sembahyang ­sembahyang yang dijaharkan , Imam mesti menjaharkan (membaca dengan keras) Bismillah juga ? Ataukah Bismillah dibaca dengan Siir ? Atau yang dijaharkan cuma al-Fatihah dan surat yang berikutnya saja ?

Golongan yang berpendapat bahwa hendaknya Basmallah itu dijaharkan dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w ialah : Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair. Dan yang menjaharkan dari kalangan Tabi'in ialah Said bin Jubair, Abu Qilabah, az-Zuhri, Ikrimah, Athaa', Thaawuus, Mujahid, Ali bin Husain, Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka'ab al Qurazhi, Ibnu Siirin, Ibnul Munkadir, Nafi' Maula Ibnu Umar, Zaid bin Aslam, Makhuul, Umar bin Abdil Aziz, Amir bin Dinar dan Muslim bin Khalid. Dan itu pula pilihan (Mazhab) Imam Syafi'i. Dan begitu pula salah satu pendapat dari Ibnu Wahab, salah seorang pemangku Mazhab Malik. Diriwayatkan orang pula, bahwa Tbnu Mubarak dan Abu Tsaur berpendapat menjaharkan juga.

Yang berpendapat bahwa Bismillahi itu di Siir-kan saja, (tidak dlbaca keras) oleh Imam, dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w ialah : Abu Bakar, Umar, Usman, Ali bin Abu T'halib, Ibnu Mas'ud, Ammaar bin Yasir, Ibnu Maghal dan lain-lain. Dan dari tabi'in, di antaranya ialah Hasan al-Bishri, asy-Syabi, Ibrahim an-Nakhali, Qatadah, al­A'masy dan as-Tsauri. Puluhan Mazhab dari Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal pun condong kepada membacanya dengan Siir.

Alasan dari yang memilih (Mazhab) jahar ialah sebuah Hadits yang dirawikan oleh jamaah daripada sahabat-sahabat,di antaranya Abu Hurairah dan isteri Rasulullah s.a.w. Ummu Salamah. Bahwasanya Rasulullah s.a.w menjaharkan membaca Bismillahir­Rahmanir-Rahim.

Kemudian itu ada pula satu riwayat dari Na'im bin Abdullah al­Mujmar. Dia berkata.

"Aku telah sembahyang  di belakang Abu Hurairah. Aku dengar dia membaca Bismillahir-Rohmanir-Rohim, setelah itu dibacanya pula Ummul Qur'an. Setelah selesai sembahyang diapun mengucapkan salam lalu berkata kepada kami , Sesungguhnya akulah yang lebih mirip sembahyangnya dengan sembahyang Rosululloh s. a. w ".

Hadits ini dirawikan oleh an-Nasai dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Lalu disambungkannya. "Adapun jahar Bismillahir­Rohmanir-Rohim itu maka sesunguhnya telah tsabit dan sah dari Nabi s.a.w ."

Hadits dirawikan pula oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim atas syarat Bukhari dan Muslim. Dan berkata al-Baihaqi : "Shahih isnadnya". Dan meriwayatkan pula ad-Daruquthni dengan sanadnya, daripada Abu Hurairah, daripada Nabi s.a.w :

10. "Adalah beliau apabila membaca sedang dia mengimami manusia, dibukanya dengan Bismillahir-Rahmanir-Rahim."

Ad-Daruquthni mengatakan isnad hadits ini semuanya boleh dipercaya. Dan hadits semacam inipun ada diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi senantiasa memulai sembahyangnya dengan menjaharkan Bismillah. Tentang ini ada riwayat dari ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari al-Hakim.

Tetapi apabila kita selidiki agak lebih mendalam, sebagai yang dilakukan oleh Imam asy-Syaukani di dalam Nailul Authaar, tiap-tiap hadits yang jadi pegangan buat menjahar itu ada saja Naqd (kritik) terhadap perawinya, sehingga yang betul-betul bersih dari kritik tidak ada. Sampai Tirmidzi pernah mengatakan. "Isnadnya tidaklah sampai demikian tinggi nilainya."
Tetapi Nailul Authaar pun ada mengemukakan sebuah hadits lagi:

11. "Ditanyakan orang kepada Anas, Bagaimana bacaan Nabi s. a. w . Maka diapun menjawab : Bacaan Nabi adalah panjang. Kemudian beliau (Abu Hurairah) baca Bismillahir-Rahman-Rahim, dipanjangkannya pada Bismillah dan dipanjangkannya pula pada Ar-Rahman, dan Ar-Rahim. " (Dirawikan oleh Bukhari)

Pendapat yang menjahar tidak mungkin Anas berkata sejelas itu kalau tidak didengarnya. Adapun yan menafikan jahar dan yang memandang lebih baik siir saja , mereka berpegang pula
kepada hadits :

12. "Daripada Abdullah bin Mughaffal : Aku dengar ayahku berkata padalzal aku membaca Bismillahir-RahmanirRahim. Kata ayahku : Hai anakku ! Sekali-kali jangan engkau mengada-ada. Dan kata Ibnu Abdullah tentang ayahnya itu : Tidak ada aku melihat sahabat-sahabat Rasulullah s. a. w. dan bersama Abu Bakar, bersama Umar dan bersama Usman, maka tidaklah pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. Sebab itu janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. " (Dirawikan oleh berlima , kecuali Abu Daud) Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi.

Hadits inipun dikaji orang dengan seksama. Al-Jariri merawikannya seorang diri. Sedang al-Jariri ini jadi perbicangan orang pula. Sebab setelah dia tua, pikirannya kacau, sebab itu hadits yang dirawikannya diragukan. Kemudian Abdullah bin Mughaffal, yang jadi sumber pertama hadits ini. Setengah ahli hadits mengatakan bahwa dia itu majhul (seorang yang tidak dikenal).

Kemudian terdapat pula sebuah hadits dari riwayat Anas pula :

13. "Daripada Anas bin Malik, berkata dia : Aku telah sembahyang bersama Rasulullah s. a. w., Abu Bakar, Umar dan Usman, maka tidaklah saya mendengar seorangpun daripada mereka yang membaca Bimillahir­Rahmanir Rahim "  (Dirawikan oleh Ahmad dan Muslim)

Dan beberapa hadits lagi yang sama artinya, semuanya dari Anas. Dan tambahan perkataan dari riwayat Tbnu Khuzaimah : "Mereka semuanya membaca dengan Siir"

Jelaslah sekarang bahwa jika ada di kalangan sahabat-sahabat Nabi sendiri yang menetapkan Jahar, memang ada hadits tempat mereka berpegang, yaitu riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat sendiri. Dan jika ada pula yang mengatakan bahwa rnereka tidak pernah mendengar Nabi menjaharkan Bismillah. Artinya keduanya sama-sama ada pegangan.

Jelas pula terdapat dua riwayat yang berlawanan, datang dari satu orang, yaitu Anas bin Malik, yaitu sahabat Rasulullah dan pelayan beliau 10 tahun lamanya.

Diriwayatkan yang pertama yang kita salinkan di atas , nyata sekali Anas mengatakan bahwa Nabi membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim, dengan panjang : Bismillahnya panjang. Ar-Rahmannya panjang dan Ar-Rahimnya panjang pula. Timbul pertanyaan sekarang, dari mana beliau tahu bahwa Rasulullah s.a.w. membaca masing-masing kalimat itu dengan panjang (Madd), kalau tidak didengarnya sendiri ?

Kalau kita kembali saja kepada Qaidah Ushul fikih dan Ilmu hadits tentu kita dapat menyimpulkan :
"Yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menidakkan. "
Artinya, riwayat Anas yang mengatakan Rasulullah s.a.w. baca Bismillah panjang, Ar-Rahman panjang dan Ar-Rahim panjang itulah yang didahulukan. Oleh sebab itu Bismillahi-Rahmanir-Rahim kita Jaharkan dan Maddkan membacanya. Ini namanya menetapkan hukum ada Jahar.

Tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang disalinkan oleh as-Syaukani di dalam Nailul Authaar telah mendapat jalan keluar dari kesulitan ini, katanya:

"Hal ini bukanlah semata-mata karena mendahulukan hadits yang menetapkan hukum (jahar) daripada yang menafsirkan (siir). Karena amat jauh dari penerimaan akal kita bahwa Anas yang mendampingi Abu Bakar, Umar dan Usman dua puluh lima tahun dan mendampingi Nabi s.a.w sebagai sahabat sepuluh tahun lamanya, tidak sekali juga akan mendengar mereka menjahar agak sekali sembahyangpun. Tetapi yang terang ialah bahwa Anas sendiri mengakui bahwa dia tidak ingat lagi (sudah lupa) hukum itu. Karena sudah lama masanya tidak dia ingat lagi dengan pasti, apakah mereka (Nabi s.a.w. dan ketiga sahabat itu) memulai dengan Alhamdulillah secara jahar atau dengan Bismillah. Lantaran itu jelaslah diambil hadits yang menetapkan jahar.

 "Sekian penjelaskan al-Hafizh Ibnu Hajar.

Keterangan Ibnu Hajar diiperkuat lagi dengan as-Syaukani dalam Nailul Authaar, katanya :

"Apa yang dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar dikuatkan oleh sebuah hadits yang menjelaskan bahwa memang Anas tidak ingat lagi soal itu. Yaitu hadits yang dirawikan oleh ad-Dar uquthi dari Abu Salamah, demikian bunyinya"
"Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah s. a. w membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan Bismillah RahmanirRahim ?Beliau menjawab : Engkau telah menanyakan kepadaku suatu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau. Lalu saya tanyakan pula. Apakah ada Rasululluh s. a. w sembahyang dengan memakai sepasang terompah ? Beliau jawab : Memang ada !"

Dengan demikian selesailah soal dua Hadits Anas, bukan bertentangan, melainkan menambah cenderung kita kepada Jahar ! Setelah kita selidiki dengan seksama, semua Hadits yang membicarakan di antara jahardan siirBi,smillahir-Rahmanir-Rahim itu, jelas bahwa pedoman dari kata-kata atau sabda s.a.w sendiri (Aqwalun Nabi) tidak ada, yang memerintahkan menjahar atau menyuruh mensiirkan, dan sebaliknya.

Yang jadi pedoman ialah riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat beliau. Baik yang menguatkan menjahar atau yang memilih siir saja. Dan setelah diselidiki pula semua sanad hadits­hadits itu, ada saja pembicaraan orang atasnya, baik hadits yang mengatakan jahar atau yang mengatakan siir.

Malahan terdapat dua riwayat berlawanan di antara jahar dan siir dari satu orang. Sebab itulah masalah ini termasuk masalah khilafiyah masalah yang dipertikaikan orang. Atau termasuk masalah ijtihadiyah, artinya yang terserah kepada pertunbangan ijtihad masing-masing ahlinya.
Dalam hal ini terpakailah Qa'idah Ilmu Ushul yang terkenal.

"Ijtihad tidaklah dapat disalahkan dengan ijtihad pula. "

Sampai Ibnu Qayyim di dalam Zaadil-Maad mengambil satu jalan tengah. Dia berkata :

 "Sesungguhnya Nabi s.a.w adalah menjaharkan Bismillahir-Rahmanir-Rahim sekali-kali dan membacanya dengan siir pada kebanyakan kali. Dan tidak syak lagi, tentu tidaklah beliau selalu menjaharkan tiap hari dan tiap malam lima kali selama-lamanya, baik ketika dia sedang berada dalam kota ataupun sedang dalam perjalanan, akan tersembunyi saja yang demikian itu bagi Khalifah-khalifahnya yang bijak dan bagi Jumhur sahabat-sahabatnya dan ahli sejamannya yang mulia itu. Ini adalah hal yang sangat mustahil, sehingga orang perlu menggapai-gapai ke sana ke mari mencari sandaran dengan kata­kata yang Mujmal dan hadits-hadits yang lemah. Meskipun hadits ­hadits yang diambil itu ada yang shahih, namun dia tidaklah sharih, dan meskipun ada yang sharih , tidak pula dia shahih:"                                          Sekian kata Ibnu Qayyim.

Berkata al-Imam as-Syaukani selanjutnya di dalam Nailul­Authaar :

"Dalam soal Ikhtilaf (perkara jahar dan siir Bismillah) ini, paling banyak hanyalah khilafiyah dalam soal Mustahab atau Masnuun. Maka tidaklah soal menjaharkan atau mensiirkan bacaan ini merupakan sembahyang atau membatalkannya. Ijma' Ulama bahwa soal siir dan jahar itu tidaklah membatalkan sembahyang. Oleh karena itu janganlah engkau terpesona pula mengikuti setengah Ulama yang memperbesar-besar soal ini dan mengobar-ngobarkan khilafiyahnya, sehinggga setengah mereka itu sampai memandangnya sebagai satu soal yang mengenai Itikad." Demikian kata as-Syaukani.

Tersebut pula dalam kitab Nailul Authaar, menurut berita dari Ibnu Abi Syaibah, bahwa an-Nasai' pernah berkata. "Menjaharkan Bismillahir-Rahmanir-Rahim itu adalah bid'ah."
Ibrahim bebas dengan pendapatnya, tetapi orang lain yang turut pula mencap bid'ah orang yang menjaharkan Bismillah, berkata demikian hanyalah karena taklidnya belaka kepada Ibrahim.
Orang ini bebas buat tidak menjaharkan Bismillah, tetapi menuduh orang lain, termasuk sahabat-sahabat perawi hadits sebagai Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah jadi tukang bid'ah, adalah suatu perbuatan yang jauh daripada sopan santun agama.

Agak panjang kita uraikan jahar atau siir Bismillah ini dalam "Tafsir" ini , gunanya ialah buat menunjukkan bahwa dalam ranting-ranting (furu'-furu') syari'at banyak terdapat hal semacam ini.

Di dalam gerakan hendak kembali kepada al-Qur'an dan hadits pasti terdapat soal-soal, yang meskipun kita telah kembali ke dalam al-Qur'an dan hadits itu , namun kita tidak juga dapat mengambil keputusan pasti, kecuali denggan ijtihad atau dengan taqlid. Bagi yang sanggup dan telah cukup syarat, niscaya dia berijtihad dan bagi yang belum ahli niscaya dia taqlid saja kepada yang pandai, walaupun dia bersorak-sorak menyatakan dia tidak taqlid.

Di negara kita selama ini telah timbul soal-soal khilafiyah atau ijtihadiyah semacam itu. Seumpamanya dijaharkanlah Bismillah atau disiirkan, dibaca al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar atau tidak dibaca. Untuk mengambil satu di antara pendirian, tidak lain adalah ijtihad. Sebab itu, meskipun setengah orang mendakwakan bahwa dia tidak lagi berpegang dengan satu Mazhab sendiri, dengan pengikut sendiri pula.

Karena tidak dapat menundukkan soal menurut keadaan yang sebenarnya dan tidak dapat pula memberikan penjelasan kepada pengikut, timbullah perselisihan dan pertentangan batin yang tidak dikehendaki. Ada di beberapa tempat satu "Muballiqh" mendabik dada mengatakan bahwa yang benar adalah pegangannya sendiri, bahwa Bismillah mesti disiirkan, dan barangsiapa yang menjaharkan Bismillah adalah berbuat bid'ah. Atau ada "keputusan" dari satu golongan, yang benar adalah bahwa al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar tidak boleh dibaca. Sebab menurut keterangan gurunya, menurut al-Qur'an dan hadits, bid'ah lah barangsiapa yang membaca al-Fatihah juga di belakang Imam yang menjahar. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Dengan sebab demikian maka perkara khilafiyah atau ijtihadiyah yang begitu lapang pada mulanya, telah menjadi sempit dan rnembawa fitnah dan perpecahan, dan tidak lagi menurut ukuran yang sebenarnya sebagaimana yang tersebut di dalam kitab-kitab Ushul fikih, yaitu kebebasan ijtihad, dan ijtihad tidaklah Qathi (pasti), melainkan Zhanni (kecenderungan) paham. Dan tidak lagi hormat-menghormati paham, sebagaimana yang dikehendaki oleh agama.

Timbul mau menang sendiri, yang tidak dikehendaki agama. Apatah lagi setelah orang awam bersikeras mempertahankan suatu pendirian yang telah dipilihkan oleh guru-guru.

Al-Fatihah Dengan Bahasa Arab

Tadi di atas telah kita nukilkan sebuah hadits bahwasanya sembahyang tidaklah sah kalau tidak membaca al-Fatihah. Dan hendaknya dia dibaca pada tiap-tiap raka'at. Oleh sebab itu menjadi jelaslah bahwa wajib bagi kita menghapalnya di luar kepala. dan menjadi wajiblah kita tahu akan maknanya, supaya sesuai bacaan mulut kita dengan arti terkandung dalam hati.

Ada satu saran yang amat berbahaya di jaman-jaman akhir ini, yaitu membaca bacaan sembahyang dengan bahasa Indonesia.. Katanya karena mempertahankan bahasa nasional. Kalau saran itu berjalan, terancamlah kita oleh bahaya rohani yang besar sekali, yaitu : kita terputus dari pangkalan agama kita, dari keasliannya yang diterima dari "Nabi Muhammad s.a.w.. Kecintaan kita kepada bahasa dan bangsa kita bukanlah berarti merusakkan pusaka akidah dan kepercayaan yang telah kita anut. Di antara hidup kita sebagai orang Islam tidaklah dapat dicerai-tanggalkan dari al-Qur'an. Kata-kata yang menyarankan sembahyang dengan bahasa nasional itu dengan tidak disadari adalah sisa-sisa peninggalan penjajahan yang 350 tahun lamanya mencoba merubah cara kita berpikir.

Di dalam bangsa penjajah mencoba menghilangkan pengaruh bahasa Arab itu, penjajah berusaha keras memasukkan bahasanya sendiri. Sampai saat sekarang ini (1965), sudah 20 tahun kita mencapai kemerdekaan bangsa, masih ada orang yang sukar berbicara dalam bahasa nasionalnya dan lebih gampang lidahnya berbicara dalam bahasa Belanda. Padahal pramasastra dan tatabahasa kita yang berpokok pangkal dari bahasa Melayu lebih berdekat dengan bahasa Arab daripada dengan bahasa Belanda. Kalau kita dalam bahasa kita menyebut nama negeri Bukuttinggi, bukan High Moutain yang kalau diartikan ke bahasa kita menjadi Tinggi Bukit. Kalau kita menyebut dalam bahasa kita Rumahku dalam bahasa Arabnyapun disebut Baiti, yang artinya rumahku juga, bukan Mijn Huis, yang berati Saya Rumah, atau aku rumah, sehingga untuk lebih dipahami terpaksa ditambah mnejadi saya empunya rumah.

Meskipun berangkali kita bangsa-bangsa Indonesia terkernudian memeluk Islam dari bangsa Persia dan bangsa Turki, namun lidah bangsa kita di dalam mengucapkan bahasa Arab, tidaklah kalah dengan lidah mereka, malahan kadang-kadang lidah bangsa kita lebih fasih. Ini diakui oleh bangsa Arab sendiri. Namun begitu dari bangsa ­bangsa itu tidak ada percobaan hendak menukar bacaan sembahyangnya dengan bahasa mereka sendiri. Di satu masa ada gerakan Syu'ubiyah namanya di Persia, yaitu kira-kira pada abad ke tiga dan empat Hijriyah, yang maksudnya hendak memungkiri kelebihan bangsa Arab dari pada bangsa-bangsa yang lain, yang tergabung dalam Islam. Namun tidak ada gerakan hendak menukar bacaan sebahyang bahasa Arab itu ke dalam bahasa Persia. Memang ada seorang Imam besar Islam, Imam Hanafi pernah menyatakan Ijtihad, bahwa tidak mengapa jika orang yang baru masuk Islam belum sanggup membaca al-Fatihah dalam bahasa Arabnya , sebelum dapat dan lafadz kata beliau bolehlah sementara dia memakai bahasa Per­sia.

Tetapi Fatwa beliau itu tidak mendapat sambutan, malahan murid-murid mengatakan pendapat yang membantah pendapat itu. Lebih baik diam mendengar imam membaca, sebelum pandai membacanya, daripada membacanya dengan bahasa lain, yang bukan bahasa aslinya. Sedangkan menukar lafadz al-Fatihah, meskipun dalam bahasa Arab juga, lagi tidak sah, apatah lagi menukarnya dengan bahasa lain. Dan sudah sepakat ahli-ahli penyelidik bahwa satu bahasa kalau telah dipindahkan ke bahasa lain, tidak lagi tepat menurut maknanya.

Karena siasat hendak memisahkan diri dari mengaruhArab, Musthafa Kemal Attaturk pernah memerintahkan menerjemah Adzan ke bahasa Turki. Tetapi setelah dia mati, dikembalikan orang ke bahasa Arab karena dengan diterjemah itu telah hilang sari dan mengaruhnya.
Dan setelah Partai Demokrasi Jalal Bayar mengadakan kampanye pemilihan umum melawan Partai Republik pusaka Kemal Attaturk, janjinya hendak mengembalikan azan ke bahasa Arab itulah yang menyebabkan kemenangannya. Sebab meskipun sudah sekian puluh tahun Partai Republik berkuasa yang beusaha hendak men­Turkikan segala yang dipandang berbau Arab, rupanya masih tetap sebagai minyak dengan air saja hubungan dengan Rakyat yang masih beragama, yang masih mengmbil kekuatan jiwanya dari al-Qur'an.

Oleh sebab itu tetaplah baca al-Fatihah dalam setiap rakaat sembahyang dalam bahasa aslinya, dalam bahasanya yang diterima dari Nabi s.a.w.. Pelajari bacaanya itu kepada yang ahli mempergunakan hurup-hurupnya menurut tajwidnya (pronounciation) yang betul. Dan dalam hukum agama, nyatalah bahwa mempelajari bacaan al-Fatihah dan mengetahui artinya dalam fardhu `ain, wajib bagi tiap-tiap muslim. Dan saran yang hendak membaca saja terjemahnya itu bukan lagi dari berpikir secara Islam, melainkan dengan tidak disadari telah kemasukan pikiran orang lain yang hendak meruntuhkan Islam.

Kalau kita merasa berat menerima pendapat Imam Syafi'i r.a. yang mengatakan wajib bagi setiap muslim mengetahui bahasa Arab, namun di dalam melakukan sembahyang dengan segala bacaanya dan khusus mengenai bacaan al-Fatihah, berpikir secara Islam yang sehat pasti menerima apa yang dikatankan Imam Syafi'i itu. Betapa tidak ! Sedang sembahyang adalah tiang agama.

Dalam sembahyang kita menghadapkan wajah hati kita kepada Tuhan, mengemukakan segala puji-pujian dan permohonan sebagai yang tersebut di dala m al-Fatihah itu. Dan hendaklah sembahyang itu kita kerjakan dengan khusyu merendahkan diri. Bagaimana khusyu akan tercapai kalau kita tidak mengerti apa yang kita katakan ? Bagaimana sembahyang akan menajdi tiang agama, kalau kita mengerjakannya hanya karena keturunan saja ? Bukan dari keinsyafan ?

Oleh sebab itu hendaklah dalam rumah tangga Islam, Ayah dan Bunda mengajar anaknya sedari kecil membaca al-Qur'an. Sekurang ­kurangnya buat pertama kali ialah diajarkan al-Fatihah, supaya dapat dipakainya untuk sembahyang.
Kalau ada orang mengatakan bahwa belajar al-Fatihah itu sukar, maka yang berkata begitu maka orang yang hatinya telah jauh dari Islam. Sebab sejak agama Islam rnenjadi anutan bangsa kita seribu tahun yang lalu, di Indonesia dengan seluruh kepulauan ini orang telah membaca al-Fatihah, tidak ada yang mengatakan sukar. Lidah anak hendaklah difasihkan sejak kecilnya. Kalau orang tua tidak sanggup mengajarnya, panggilah guru ke rumah.

Kalau seorang tidak juga pandai membaca al-Fatihah, maka Nabi s.a.w tidak juga ada mengajarkan atau membolehkan bacaan lain. Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Abu Daud, an-Nasal', Imam Ahmad, Ibnul Jarud, Tbnu Hibban dan ad-Daruquthni :

17. "Bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi s. a. w lalu berkata : Sesungguhnya aku tidak sanggup mengambil bacaan dari al-Qur'an walaupun sedikit. Oleh sebab itu ajarkanlah kepadaku sesuatu bacaan yang akan dapat memberi pahala bagiku pada sembahyangku. Maka berkatalah beliau : Bacalah Subhanallah,Alhamdulallah, La Ilaha Illallah, Allahu Akbar, La Haula wala Quwwata illa Billahi ".

Hadits ini menunjukkan, bahwa kalaupun tidakpandai membaca al-Fatihah, rnaka untuk menggantinya tidak boleh dengan ucapan lain, melainkan dzikir-dzikir yang tersebut itu. Namun sernbahyang dengan bahasa yang lain tidak juga boleh.

Oleh sebab itu telah termasuk ibadat, tidaklah boleh lagi kita tukar daripada apa yang diajarkan oleh Nabi. Dan kalau a1-Fatihah tidak pandai dan dzikir-dzikir yang tersebut itupun tidak pandai, bolehlah mengikut Iman dengan mendengarkan bacaan Imam, sebagaimana telah dibukakan pahamnya oleh ijtihad yang kita sebutkan tadi. Tegasnya, lebih balk berdiam diri mendengarkan imam marribaca, daripada mengerjakan sembahyang dengan bahasa yang lain, atau dengan terjemahan al-Fatihah. Sebab terjernahan itu tidak jugalah akan tepat seratus persen dengan kehendak isi aslinya.

Ini mungkin dan bisa kejadian pada seorang Muallaf yang baru masuk Islam, yang sesudah dia mengucapkan dua kalimah syahadat, dia sudah wajib sembahyang, padahal dia belum tahu baik zikir atau al-Fatihah. Dalam pada itu ia wajib belajar sehingga tidaklah lama dia hanya mendengar saja.

Kesimpulan

Renungkanlah pengertian al-Fatihah sebaik -baiknya, niscaya akan terasa bahwa dia bukan semata-mata bacaan untuk ibadat, tetapi mengandung juga bimbingan untuk membentuk pandangan hidup muslim. Mula-mula dipusatkan seluruh kepercayaan kepada Allah dengan sifatNya Yang Maha Pemurah darl Penyayang, disertai dengan KeadilanNya yang berlaku sejak dari dunia lalu ke negeri akhirat. Dan bila kita renungkan pula pengertian dan pengakuan kita, bahwa yang kita sembah hanya Dia dan tempat kita memohonkan sesuatu hanya Dia. Sampailah kita kepada Islam yang sejati. Setelah kita akui bahwa hanya Dia yang kita sembah, baruiah kita. mengajukan perrnohonan. Jangan sampai terbalik, sebagai kebanyakan orang-orang ghafil, yang lebih dahulu memohon dan kemudian baru beribadah.

Sesudah pengakuan yang demikian, kita kemukakan permohonan yang pertama dan utama, yaitu meminta ditujuki jalan yang lurus. Maka tidaklah kita meminta kepada Tuhan agar diberi benda, diberi roti buat makanan hari ini, sebagi bacaan sembahyang orang Kristen. Karena apabila mengenal (ma'rifat) kita kepada Tuhan telah mendalam, tidaklah kita mengemukakan permohonan yang kecil-kecil dan remeh itu lagi, melainkan kita minta yang pokok, yaitu jalan lurus dalam menempuh hidup, dan apabila permohonan itu telah kita iringi supaya dikaruniai jalan yang dinikrnati, timbullah pada kita cita-cita yang tinggi di dalam martabat iman, setaraf dengan kehidupan Rasul­rasul, Nabi-nabi, Syuhada dan Shalihin. Bahkan di dalam surat al­furQan (Surat 25 ayat 74) kita disuruh berdo'a yang jangan tanggung­tanggung jangan halang kepalang.

Kita disuruh berdoa agar Tuhan menjadi IMAM dari orang-orang yang MuttaQin, artinya menjadi contoh teladan bagi orang lain. Dan setelah kita memohonkan agar kiranya kita diselamatkan Tuhan, jangan tertempuh jalan yang dimurkai Allah dan jangan pula jalan yang sesat, dengan secara tidak langsung kita sudah disuruh mempelajari ilmu sejarah, filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan (sosiologi), dan juga ilmu jiwa. Kita harus mempelajari bagaimana sebab-sebab sesuatu umat atau kaum naik martabatnya atau jatuh pamornya.

Dan dengan sendirinya, bila al-Fatihah kita renungkan dapatlah kita pahamkan bahwasanya yang kita pegang di dalam hidup ini ialah dua tali. Pertama tali dengan Allah, kedua tall dengan Alam, termasuk manusia sebagai alam yang lebih penting dan kita termasuk pula di dalamnya.

Al-Fatihah inilah yang kita ulang-ulang membacanya setiap hari, sekurang-kurangnya 17 kali sehari semalam. Moga-moga selain dari dia menjadi Fatihatul kitab, pembukaan dari al-Qur'an, diapun akan membuka hati sanubari kita sendiri, sehingga hilanglah segala ragu­ragu dan terbukalah pintu Hidayat, sehingga dia menjadi dasar persediaan bagi kita buat mengenal lagi seluruh isi al-Qur'an yang mengandung 6.236 ayat itu.

Kita misalkanlah sembahyang lima waktu, yang terdiri daripada 17 raka'at, sebagai menghadap Tuhan yang routine, yang wajib dilakukan dengan berkala. Bagaimanakah lagi kesannya ke dalam jiwa kita, bila kita ikuti lagi dengan Shalat Nawafil, sembahyang sunat ? Sembahyang Sunat Nawafil disediakan Tuhan, dengan perantaraan RasulNya, untuk orang yang merasa belum puas dengan pertemuan "resmi" saja. Pertemuan di luar "dinas" kadang-kadang lebih mesra daripada pextemuan yang "routine".

Dimulai segala sembahyang itu dengan Allahu Akbar, artinya dibulatkan ingatan kepada Tuhan, dan diakhiri dengan Assalamu'alaikum. artinya kita kembali lagi ke dalam masyarakat dan intinya ialah al-Fatihah.

Bertali dengan ketentuan agama bahwasanya sembahyang lima waktu, sembahyang Jum'at, sernbahyang dua Hari Raya dan sembahyang dua gerhana, dianjurkan sangat supaya berjama'ah. Jama'ah kecil-kecilan di antara keluarga di rumah , jamaah sekampung atau selorong di dalam sebuah surau kecil kepunyaan kampung. Jama'ah lebih besar sekali Jum'at, di dalam sebuah Masjid Jam', jama'ah dua Hari Raya, jama'ah gerhana bulan dan matahari dan jama'ah memohon hujan (istisqaa). Dan jama'ah besar dan agung, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup dengan wuquf di Arafah waktu Haji. Semua jama'ah ini membuat seorang muslim menjadi anggota masyarakat yang aktif, sehingga terbentuklah masyarakat Is­lam, ukhuwah Islarniyah dan Mu'awanah `alal birri wat-taqwa. Semuanya sama bacaanya yaitu surat al-Fatihah.

Dan di dalam jama'ah itupun dididik hidup yang berdisplin. Jama'ah mempunyai imam dan yang selebihnya menjadi makmum. Bahkan di jaman nabi dan sahabat-sahabatnya, imam sembahyang berjamaah ialah Nabi, Khalifah-Khalifah, Gubernur (Wali) di tiap­tiap negeri. Tidak boleh seorang makmum mendahului mengangkat kepalanya seketika ruku dan sujud sebelum imam. Sampai ada hadits mengatakan bahwa barangsiapa yang mengangkat kepalanya terdahulu daripada imam rnengangkat kepala, maka kapalanya itu akan berganti menjadi kepala keledai.

Al-Fatihahpun mendidik kita memakai adab sopan-santun yang tertinggi. Adab sopan-santun yang tinggi itu dimulai terhadap kepada Tuhan akan membawa kesannya pula kepada sikap hidup kita dalam masyarakat, perhatikanlah susunan ayat yang tujuh itu.

Pada ayat pertama "Bismillahir-Rahmanir-Rahim", kita memujikan sifat Rahman dan RahimNya. Sesudah itu pada ayat kedua "Alhamdulillahi Rabbil `Alamin" kita puji Dia, kita sanjung Dia, sebab Dia yang menjadikan alam ini tempat kita hidup. Pada ayat ketiga kita ulang lagi menyebut sifat Rahman dan RahimNya itu. Di ayat keempat "Maliki Yaumiddin", kita mengakui bahwa kekuasaanNya itu bukan meliputi hari sekarang saja, bahkan berlanjut lagi kepada yang diseberang hidup ini. Setelah selesai kita akui segala

Rahman dan Rahim, segala puji dan kekuasaan dunia akhirat hanya Dia yang empunya, tidak ada dicampuri yang lain, barulah kita menunjukkan sikap hidup pada ayat kelima

 إيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ      ("IyyakaNa'budu waiyyaka Nasta'in." )

Oleh sebab itu kita menyembahNya adalah dengan kesadaran bahwa hanya Dia yang patut disembah. dan memohon pertolongan kepadaNya, karena memang hanya Dialah yang sanggup mengabulkan segala permohonan.

Sesudah pengakuan ini barulah kita langsung saja mengemukakan permohonan, sebelum kita mengenal atau menyebut tuah kebesaran dari tempat kita memohon itu. Adalah sangat tidak sopan orang langsung saja mengemukakan satu keinginan, sebelum dengan tulus ikhlas dia mengakui kemulian dari pada tempatnya memohon.

Kita mempunyai nyawa atau roh, dan roh itupun hendaklah dijiwai pula. Agama Islam adalah suatu agama yang menjadi roh dari roh kita. Tidak beragama sama artinya dengan mati, walaupun kita masih hidup. Dan al-Fatihah adalah isinya yang utama, sehingga dengan memahamkannya kita dapat mencapai hakikat hidup. Amin


source:tafsiralazhar.net46.net

0 komentar