Pagi-pagi, secara tidak sengaja kuputar lagu Kyai Kanjeng dengan vokalisnya Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), tembang Lir-Ilir. Sayup-sayup lagu ini menelusup ke dalam sanubari dan menentramkan jiwa. Ada vibrasi halus yang tiba-tiba membawaku pada dimensi, kala Sunan Kalijaga menyanyikan lagu ini bareng dengan murid-muridnya.
Kala itu, di sebuah dusun pedalaman yang sangat tentram jauh dari hiruk pikuk perpolitikan kerajaan, Sunan Kalijaga hidup damai sembari menyebarkan ajaran Islam yang sarat kelembutan. Kala itu, suasana pedalaman serasa dalam keberkahan : para petani bekerja dengan senang hati, rerumputan hijau meluas, padi-padi tumbuh subur, dan binatang-binatang ternak seperti kerbau, kambing…merumput dengan suka cita.
Beliau mengajarkan, setiap masyarakat memiliki keunikan dalam hal budaya, kebiasaan, dan kepercayaan dalam melakoni kehidupan. Dalam hidup di tengah masyarakat, beliau tak pernah sedikitpun memunculkan kekagetan batin dalam hati warga masyarakat. Kelembutan dan kehalusan budi pekerti menjadi perilaku yang meneduhkan setiap orang yang melihatnya.
Di saat beliau melihat perilaku orang lain yang tidak sesuai dengan norma-norma agama Islam semisal adu ayam, judi, minum-minuman keras dst – beliau tidak lantas menegur apalagi marah. Beliau lebih memilih berdiam sejenak, lalu pada malam harinya beliau bertafakur dan berzikir kepada Allah, untuk diberikan petunjuk bagaimana memperbaiki budaya masyarakat dengan cara yang tepat. Sebuah cara tanpa memunculkan kebencian pihak lain, tetap terjaga kedamaian, sawah-sawah tetap menghijau, binatang-binatang ternak tetap merumput dengan tenang, dan semua kalangan masyarakat merasa tentram hidupnya. Salah satu cara yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga adalah melalui seni : wayang dan tembang.
Dan salah satu tembang yang begitu terkenal adalah Lir Ilir.
Lir ilir Lir ilir / Tandure wus sumilir / Tak ijo royo-royo / Tak sengguh temanten anyar
Cah angon cah angon / Penekno blimbing kuwi / Lunyu-lunyu penekno / Kanggo mbasuh dodotira
Dodotira dodotira / Kumitir bedahing pinggir / Dondomana jlumatana / Kanggo seba mengko sore
Mumpung padang rembulane / Mumpung jembar kalangane / Ya surak’o surak hiyo
Lir ilir Lir ilir / Tandure wus sumilir / Tak ijo royo-royo / Tak sengguh temanten anyar : Lir Ilir Lir Ilir / Tanaman di sawah sudah tumbuh merekah/ Tampak kehijauan / Seperti pengantin baru : Sebuah gambaran yang membuat hati setiap orang merasa tenang dan bahagia. Dalam bait ini, seolah kita ini digambarkan sedang tiduran di bawah pohon teduh pinggir hamparan sawah yang tumbuh subur menghijau, berasa semilir angin yang mengoyang dedaunan padi dan suara gemericik air mengalir. Lalu perlahan, semilir angin membangunkan kita. Saat itulah…mata kita memandang goyangan dedaunan padi selayaknya iringan pengantin. Luapan emosi yang penuh suka cita, menyemburat sanubari. Berbahagialah…karena kita berada di atas bumi yang subur dan menghijau.
Cah angon cah angon / Penekno blimbing kuwi / Lunyu-lunyu penekno / Kanggo mbasuh dodotira : Bocah penggembala bocah penggembala / Panjatlah pohon belimbing itu / Walau licin, teruslah naik / Untuk membersihkan pakaianmu : Kita semua adalah cah angon, bocah penggembala. Di tengah hamparan sawah yang menghijau dan begitu asyiknya tiduran di pinggiran sawah, ada tugas mulia yang tetap harus kita jaga dan jalankan. Jadilah cah angon…bocah penggembala, yang telah ditugaskan ibu kita untuk menggembala kambing, atau kerbau, atau bebek enthok. Watak cah angon adalah berpikir bagaimana memberi makan pihak lain dengan limpahan kasih sayang, dan bukan mencari makan untuk dirinya sendiri. Semangat jadi cah angon…membawa pada amanah untuk menjadi pemimpin yang siap mengayomi, melindungi, dan membuat rakyatnya hidup tenteram bahagia.
Lalu, di sela-sela tugasnya angon itu…diperintahkan untuk memanjat sebuah pohon belimbing yang terkenal sangat licin, apalagi kalau sehabis hujan sangat sulit untuk bisa dipanjat. Di atas pohon itu, petiklah buah belimbing. Di tengah kesibukan kita mengurusi hal duniawi yang melelahkan, teruslah untuk belajar menuntut ilmu. Ilmu tidak sekedar dihafal tapi dijalani, disebut ngaji dan ngelmu. Belimbing dengan sirip lima adalah perlambang bahwa ada 5 pilar ilmu yang harus terus kita dalami dan jalani yang disebut rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Melalui rukun Islam ini…jiwa kita akan menjadi bersih.
Dodotira dodotira / Kumitir bedahing pinggir / Dondomana jlumatana / Kanggo seba mengko sore : Pakaianmu pakaianmu / Terkoyak di sisi pinggirnya / Jahitlah tamballah / Guna menghadap nanti sore : Jika memang benar…ini zaman dimana jiwa-jiwa kita telah terkoyak. Kita yang terlalu semangat untuk jadi cah angon, hingga lupa untuk memanjat pohon belimbing. Lupa, untuk terus ngaji…ngelmu…mendalami dan menjalani 5 pilar ilmu. Kita yang suka sekali mengarahkan, menyuruh, berusaha meluruskan pihak lain…tetapi kita telah lupa bagaimana merawat hati, memperkuat jiwa kita. Kita telah digelapkan oleh ego kita sendiri, lupa dengan siapa kita, mungkin kita ada salah. Kita yang lebih suka melihat ke luar, kepada kesalahan-kesalahan pihak lain, kepada segala sesuatu yang saban hari menyesaki panca indera kita.
Prasangka, selentingan berita, atau bisikan-bisikan miring…telah mengunci mata batin kita untuk menatap di kedalaman diri. Lalu, kapankah kita memberanikan untuk membaca diri, melihat, dan mencari dimanakah bagian jiwa kita ini yang terkoyak? Kapankah kita bersiap untuk mengucap “astaghfirullah, maafkan salah dan khilaf kami ya Allah..” Karena tak berapa lama sore akan menjelang. Hidup tidaklah lama lagi…kita semua sedang menuju senja kehidupan. Dan ketika sore menjelang, sanggupkah kita untuk menatap wajah-Nya?
Mumpung padang rembulane / Mumpung jembar kalangane / Ya surak’o surak hiyo : Selagi masih terang rembulan / Selagi waktu masih terluang / Bergegaslah.
source: elmoudy.com
0 komentar