Pertarungan memperebutkan penguasaan sumber daya alam di bumi menyangkut minyak dan emas, bersamaan dengan saling ancam bom nuklir antara Blok Barat dan Blok Timur dalam Perang Dingin telah membuat ketegangan merembet ke Indonesia segera setelah kemerdekaannya pada 1945. Di bawah pemerintahan Soekarno, republik ini bertekad menabuh genderang perang melawan kolonialisme dan imperialisme. Indonesia tidak sendirian. Sebagian besar pimpinan negeri-negeri bekas jajahan yang pernah disebut sebagai Dunia Ketiga, seperti Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah, Patrice Lumumba, dan Fidel Castro, bergandengan tangan menyatakan ingin mandiri dan membangun kekuatan ekonomi dan politik yang bebas dari ekspansi kapitalisme internasional.

Negara-negara bekas jajahan Eropa Barat, Jepang, dan perampok yang datang belakangan, Amerika Serikat, segera melihat bahwa negara-negara yang mencanangkan kemandirian mereka di Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 semakin dekat ke Blok Sosialis, yaitu Uni Soviet dan RRC. Indonesia sebagai salah satu negeri terbesar di Asia, dengan jumlah penduduk nomor 4 terbanyak di dunia, menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan mereka. PKI memperoleh suara terbanyak ke 4 pada Pemilu 1955 dan sepenuhnya mendukung politik nasionalis-kerakyatan Soekarno. Dua tahunan sesudahnya dalam Pemilu Daerah 1957, PKI sudah menjadi partai terbesar di Pulau Jawa. Kampanye-kampanye anti Amerika dan Inggris, yang dianggap biang dari Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme) senantiasa diramaikan oleh gerakan massa yang secara langsung pun tidak diorganisir oleh PKI. Pecah pula konfrontasi dengan Malaysia, agen Neo Kolonialisme Inggris, untuk membebaskan Kalimantan Utara. Poros Jakarta –

Beijing pun dibangun. Menyaksikan bagaimana Vietnam sudah diserbu dan diduduki oleh Amerika Serikat pada awal 1960-an itu, pembicaraan antar pemerintahan telah sampai pada rencana pembelian puluhan ribu pucuk senjata dari RRC.
Indonesia bahkan menyatakan keluar dari keanggotaan PBB dan memprakarsai adanya Conefo (Conference of the New Emerging Forces), konferensi negara-negara sosialis atau gerakan Non Blok se-dunia. Kepentingan Amerika dan Inggris pun terancam. Lewat berbagai upaya infiltrasi, CIA mendorong terjadinya pemberontakan di Sumatra Barat dan Sulawesi Utara, PRRI/Permesta 1957/1958, membuktikan dengan jelas sekali bahwa AS dan Inggris berusaha memecah belah Indonesia untuk menguasai sumber alam dan jalur laut strategis. Kaum imperialis ini juga membangun hubungan erat dengan intelektual dan politisi Indonesia, baik dari kalangan sipil maupun militer, yang bertentangan dengan Soekarno, yang tidak rela kehilangan kenikmatan yang mereka peroleh selama jaman kolonial Belanda. Setelah gagal mensponsori pemberontakan PRRI/Permesta, AS mulai merangkul sebagian pimpinan AD waktu itu. Sejak 1958 ribuan perwira AD kemudian dilatih di AS. AS menyebarkan banyak issue tentang PKI yang akan
mengambil alih pemerintahan.

Lalu, terjadilah peristiwa 30 September 1965. Dewan Revolusi, mengambil alih kekuasaan Presiden Soekarno. Dipimpin oleh Letkol Untung, salah satu komandan pasukan pengamanan presiden Cakrabirawa saat itu, dengan sejumlah pasukan tentara bersenjata lengkap menculiki dan membunuh 6 jendral TNI-AD dan satu perwira pertama. Operasi Militer itu digerakkan oleh beberapa perwira AD yang percaya pada isyu bahwa sudah terbentuk suatu Dewan Jendral di bawah pimpinan Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jendral Ahmad Yani, yang akan mengambil alih pemerintahan apabila Soekarno –waktu itu sedang menderita sakit parah—meninggal dunia.

Kemudian, Letkol Untung (belakangan diketahui adalah “orang binaan” Soeharto) menggerakkan beberapa batalion yang mereka namakan Gerakan 30 September. Operasi Militer G30S dipersiapkan secara rahasia, tetapi setelah bergerak mereka tampil secara terbuka. Lalu mereka membentuk Dewan Revolusi dan kemudian melaporkan semua gerakan yang dilakukan pada pagi buta 1 Oktober kepada Bung Karno, Panglima Tertinggi waktu itu (Soekarno menyebutnya sebagai Gestok). Bung Karno memerintahkan G30S untuk menghentikan gerakannya dan Letkol Untung dkk menaati perintah Panglima Tertinggi, lalu membubarkan diri. Gerakan 30 September kemudian dituduh oleh Pangkostrad Mayjen. Soeharto sebagai gerakan yang sudah lama dipersiapkan oleh PKI untuk mengambil alih kekuasaan. Maka diciptakanlah sebutan G30S/PKI. Letkol Untung pun –untuk penghilangan jejak- dibunuh oleh pasukan Jendral Soeharto, di Jawa Tengah. Para pelaku G30S beberapa dibawa ke pengadilan yang tidak adil dan segera dieksekusi
untuk menghilangkan jejak. Sementara hanya satu pimpinan Comite Central PKI, Sudisman, yang diadili. Yang lain dieksekusi tanpa pengadilan atau hilang tak tentu rimbanya.

Segera setelah G30S diperintahkan untuk membubarkan diri oleh Bung Karno, kekuasaan militer diambil alih oleh Soeharto. Semua koran dilarang terbit kecuali beberapa koran yang dikuasai oleh Soeharto dkk melalui Departemen Penerangan di bawah pimpinan Mayjen. Achmadi. Lalu disebarlah fitnah dan propaganda bohong serta keji lewat televisi, radio, koran-koran milik Angkatan Darat dan CSIS, sebuah lembaga penelitian milik Jendral Ali Moertopo (yang sebelumnya bersama Jendral Yoga Soegomo dan Jendral Benny Moerdani telah mendapatkan pendidikan intelejen dari CIA Amerika Serikat). Media massa sepenuhnya dikontrol oleh Angkatan Darat. Koran-koran militer seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha dipenuhi berita-berita sensasional bahwa para jendral dan perwira korban pembunuhan G30S dibawa ke Lubang Buaya, dibuang ke sumur setelah sebelumnya disiksa dan disayat-sayat dalam pesta seksual “Harum Bunga” yang diadakan para anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat.

Foto-foto buram yang diambil di Lubang Buaya ditampilkan untuk membakar kemarahan masyarakat. Fitnah itu dengan sengaja disebarkan karena Soeharto dkk sudah tahu bahwa itu sama sekali tidak benar. Dan nyatanya kisah-kisah tentang penyiksaan terhadap para perwira ini bohong belaka. Di kemudian hari seorang pakar sejarah dari Universitas Cornell, Ben Anderson, menemukan hasil laporan dokter ahli forensik yang memeriksa kondiri jenazah para jendral dan menyatakan bahwa mereka meninggal akibat luka tembakan dan tidak ada bagian tubuh yang dimutilasi. Dokumen hasil otopsi yang harus disampaikan ke masyarakat pada saat itu sengaja ditumpuk di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa

Propaganda bohong melalui media massa segera memicu kemarahan dan kebencian massa organisasi-organisasi yang sebelumnya memilih politik yang berseberangan dengan PKI dan ormas-ormas kiri pada umumnya. Terutama mereka yang mempunyai kepentingan yang berbeda, seperti dalam pelaksanaan Landreform pada awal tahun 60-an. PKI mendukung Landreform tapi banyak kekuatan politik yang menentang Reformasi Pertanahan pada waktu itu. Ini masih ditambah dengan penyebaran isu-isu bohong bahwa PKI sudah lama berencana mengambil alih pemerintahan yang sah dan membuat daftar nama ulama dan tokoh masyarakat yang akan dibunuh setelah mereka menang. Situasi panas ini dimanfatkan sebaik-baiknya oleh golongan keagamaan, terutama NU, Muhammadiyah dan Partai Katolik untuk membentuk Komite Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP Gestapu), di bawah pimpinan Subchan Z.E. dan Harry Tjan Silalahi. Partai-partai lain, berikut ormas-ormas yang selama ini bersaing dengan PKI untuk memperoleh dukungan massa, seperti PSII, Partai Kristen Indonesia, bahkan PNI yang menjadi tumpuan Soekarno, bergabung dalam aksi pengganyangan ini, secara langsung maupun tidak. KAP Gestapu mengadakan demonstrasi-demonstrasi panas menghujat PKI, menghancurkan Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti), dan rumah-rumah para pimpinan PKI di Jakarta.
Atas perintah “mengucilkan” PKI, pasukan-pasukan Angkatan Darat, terutama pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, menggalang milisi-milisi terutama dari organisasi-organisasi keagamaan seperti Banser NU, Pemuda Muhammadiyah, di Jawa, dan Pemuda Marhaen atau Tameng di bawah PNI di Bali, untuk memusnahkan anggota, simpatisan, bahkan anggota keluarga yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Para pemuda dipersenjatai, dilengkapi dengan alat komunikasi dan transportasi, dan didorong untuk melakukan tindakan-tindakan keji dan brutal terhadap orang-orang yang masih belum jelas apa salahnya, tidak tahu pula apa yang terjadi di Jakarta. Banyak korban jatuh justru setelah mereka ‘diamankan’ di kantor-kantor polisi, militer atau institusi-institusi negara lainnya, seperti kecamatan atau kelurahan.

Api menyala. Darahpun tumpah. Ketika kemarahan dan kebencian sudah meluas pembunuhan massal diorganisir dan terjadi secara sangat sistematis, seiring dengan pergerakan RPKAD ke seluruh Jawa dan Bali. Mulai Jawa Tengah pada bulan Oktober, lalu menyebar ke Jawa Timur di bulan Nopember dan kemudian menyebar ke Bali di bulan Desember 1965.

Di Jawa Barat, pembunuhan massal juga terjadi, tetapi dalam skala yang jauh lebih kecil karena militer di Jawa Barat cukup patuh pada perintah Presiden Soekarno untuk tidak saling membunuh. Tapi basis-basis PKI di Subang, Indramayu, dan Cirebon tetap diluluhlantakkan, dibumi-hanguskan dan dihancurkan. Puluhan ribu orang mati dibunuh hanya dalam tempo dua bulanan. Di Boyolali, 21 Oktober 1965, menjadi awal pembantaian massal, ribuan orang ditembaki dan digorok secara biadab. Kuburan massal hasil galian paksa para korban tercipta mendadak. Orang-orang yang menolak membunuh atau menggali kuburan, diancam akan ikut dibunuh. Tubuh-tubuh tanpa kepala bergelimpangan di desa dan kampung perkotaan sekitar Solo, Blora dan Prambanan. Di Blora sendiri tak kurang 5000 orang dibantai dengan sadis. Sungai Bengawan Solo, Kali Wedi Klaten, dan Sungai Brantas di Jawa Timur penuh dengan mayat bertubuh tak utuh. Kali jadi merah. Orang ketakutan. Tak jelas siapa kawan, siapa kawan.

Jendral Soemitro, Pangdam Brawijaya mengatakan bahwa “1 orang nyawa Jendral harus ditebus 100 ribu nyawa PKI”. Ia pun mengiringi pembantaian massal di berbagai wilayah di Indonesia. Dia pula lah yang memimpin penangkapan, penggorokan, penembakan ratusan massa sekaligus dan membuang mayat mereka ke dalam lobang yang digali oleh para korban itu sendiri. Diperkirakan 250.000 korban mati atau hilang di Jawa Timur.
Di Bali, pembantaian massal dimulai setelah RPKAD mendarat pada awal Desember 1965. Mereka menggalang milisi-milisi binaan PNI yang disebut Tameng. Mereka juga datang bersama segerombolan milisi Jawa-Madura yang berasal dari Banyuwangi. Pola pembantaian pun kurang lebih sama biadab dengan di Jawa, bahkan mungkin lebih menggila karena ketegangan antara PNI dengan PKI merasuk sampai ke ranah-ranah pribadi di dalam keluarga-keluarga besar. Dengan memanfaatkan adat dan ritual, di beberapa tempat terjadi pembantaian seluruh garis keluarga dengan anggapan akan menghilangkan dendam turunan. Laki-laki berusia 17 tahun ke atas, apalagi kalau ia pandai, tak bakal selamat.

Bali harus dibersihkan dari malapetaka, diupacarai dengan banjir darah agar Pulau Dewata suci kembali. Mayat-mayat pun dipotong, dipisahkan tangan, kaki dan kepala dari badan dan dibuang di berbagai tempat supaya unsur-unsur jahat tak bersatu. Rumah demi rumah di suatu desa dibakar, kadang-kadang dengan penghuninya secara hidup-hidup. Kuburan massal yang berisi ratusan mayat bertebaran hampir di seluruh bagian pulau cantik ini. Terkirakan sekitar 80.000-100.000 jadi korban pembantaian.
Team Pencari Fakta yang dibentuk oleh Bung Karno mencatat laporan resmi para penguasa, antara 80.000-100.000 jiwa telah menjadi korban di Jawa dan Bali. Tetapi di balik itu, para penguasa sendiri menduga korbannya 10 kali lebih besar dari yang mereka laporkan (Memoar Oey Tjoe Tat).
Di seluruh Indonesia, dalam waktu beberapa bulan dari mulai Oktober 1965 sampai 3 bulan pertama 1966, menurut perkiraan umum ada sekitar 800 ribu sampai sejuta orang dibunuh dengan berbagai cara. Digorok, disiksa, dipenggali dan kepalanya ditancapkan pagar rumah korban, dibantai dan ditembaki secara massal, dibakar hidup-hidup bersama rumah dan kampungnya, dibuang ke jurang, sungai dan lautan. Tanah dan harta para anggota PKI atau golongan kiri pun dijarah dan dikuasai oleh tentara dan milisi-milisi ciptaannya macam KAMI, KAPI, KAPPI dst. Kebencian rasialpun dikobarkan. Kantor, sekolah, rumah, tanah dan daerah pertokoan yang dimiliki kaum etnis Tionghoa, baik yang tergabung dalam BAPERKI atau tidak, direbut kemudian diduduki sebagai markas tentara, rumah Jendral, kantor Golkar atau markas milisi Orba, sampai sekarang. Puluhan ribu orang dipekerjakan di Pulau Buru dan Nusakambangan, memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagai orang buangan, dan kebutuhan para perampok kehidupan mereka.

Setelah Pembunuhan Massal di desa-desa, aksi menggulingkan Bung Karno dilancarkan di kota-kota selama bulan Januari dan Februari. Di Jakarta, aksi-aksi mahasiswa yang kemudian dikenal dengan Angkatan ’66 berlanjut, menghujat Soekarno, menuntut pembubaran PKI dan pembubaran kabinet. Mereka mengatasnamakan “Amanat Penderitaan Rakyat”, sementara rakyat dianiaya dan dibunuhi di seluruh penjuru Indonesia. Dicetuskanlah TRITURA pada Januari 1966. Mereka yang tergabung dalam KAMI, KASI, KAPPI, Laskar ARH, dst., berdemonstrasi di siang hari, berpesta-pora di malam hari, dengan minuman keras dan kegiatan seksual bebas. Ketika Kolonel Sarwo Edhie Wibowo kembali dari tugas “pembersihan” di luar Jakarta, mereka mengadakan arak-arakan menyambut kedatangan Sang Penjagal. “3 juta orang telah dibantai,” katanya dengan bangga!

Jarang yang tahu organisasi utama penggalang aksi-aksi ini, KAMI, dibentuk oleh tentara melalui tangan Menteri Pendidikan Brigjen. Sjarif Thajeb; bahwa untuk melancarkan aksi-aksi mereka, ada hubungan terus-menerus antara pimpinan-pimpinannya dengan Kepala Staf Kostrad, Brigjen. Kemal Idris; bahwa jaket-jaket kuning yang dibangga-banggakan para mahasiswa dibiayai oleh pemerintah AS, melalui orang-orang penghubung dengan CIA, melalui perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia. Tujuannya satu: gulingkan pemerintahan Soekarno demi masuknya modal asing ke Indonesia.

Baru setelah kekuatan massa PKI dan ormasnya dihancurkan, teror dan ketakutan ditebar, para penentang dibungkam selama-lamanya, Jendral Soeharto mengirimkan Jendral Basuki Rachmat, Jendral Amir Machmud dan Jendral Wirahadikusumah ke Istana Bogor untuk memaksa Soekarno, lewat todongan pistol, untuk menekan Bung Karno agar menyerahkan kekuasaan pada Soeharto. Bung Karno tidak bersedia. Tetapi dia memerintahkan Soeharto untuk “Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Revolusi.” Surat itulah yang kemudian disebut dengan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966), yang sekarang tak ketentuan rimbanya. Satu lagi penghilangan bukti sejarah.

Oleh Soeharto perintah yang isinya jelas itu, “menjamin kestabilan jalannya Pemerintahan dan Revolusi,” disalahgunakan. Dia pakai untuk merebut kekuasaan dari Bung Karno selangkah demi selangkah. Berbekal Supersemar yang kemudian disalahgunakan, Jendral Soeharto melempangkan jalan menuju pengambilan kekuasaan pemerintahan sepenuhnya. Ia memerintahkan penangkapan dan penahanan paling tidak 100 anggota DPR-GR/MPRS dan 15 menteri dari kabinet yang sedang berkuasa. Lewat tekanan Jendral Suhardiman, Wakil Sekber Golongan Karya yang dibentuknya, memaksa Jendral Nasution sebagai pimpinan MPRS/DPRGR untuk melaksanakan sidang umum. Lahirlah kemudian TAP MPRS 25/1966 yang intinya membubarkan PKI, menyatakannya sebagai organisasi terlarang, serta melarang penyebaran ideologi Marxisme dan Leninisme di seluruh Indonesia. Bung Karno ditangkap dan ditahan atas tuduhan TERLIBAT G30S/PKI. Betapa, seorang Presiden dituduh ikut mendalangi kudeta terhadap pemerintahan dirinya sendiri! Sesuatu hal yang tak masuk akal.

Sidang Istimewa MPRS pun menetapkan Jendral Soeharto sebagai Presiden RI yang berkuasa penuh pada 1967. Kudeta yang merangkak itupun tercapai. Undang-undang pertama di bawah pemerintahan Soeharto yang disahkan adalah UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Jalan bagi penjarahan, perkosaan, pembunuhan dan perbudakan rakyat Indonesia akhirnya terbuka lebar, sampai SEKARANG!

Sebuah tragedi kemanusiaan terjadi. Di atas tanah yang kita pijak, di atas gedung-gedung pemerintah dan perusahaan multinasional bertumpuk tulang-belulang dari orang-orang yang tak berdosa. Kuburan-kuburan massal tanpa batu nisan membuka mata dunia bahwa peradaban Indonesia telah dibuka dengan banjir darah, perampokan mimpi dan harapan serta penjarahan massal. Kita berhutang kepada para martir yang memperjuangkan kemandirian dan kebersahajaan bangsa dan negeri ini. Kita berhutang kepada para korban dan keluarganya yang masih berdiri tegak, tampilkan kemanusiaannya, di tengah kebejatan moral para jagal dan maling pengikut Orde Baru. Buat para individu maupun organisasi-organisasi perlawanan terhadap kapitalisme global, buat para pejuang dari berbagai latar belakang: Agamis, Nasionalis, Sosialis, Komunis, maupun Anarkis; bersatulah. Kenalilah musuh sebenarnya, yaitu dajjal Neo-Liberalisme yang sudah menancapkan kuku-kukunya di seluruh penjuru dunia.

Perjuangan terus berlanjut…

Sumber : Mass Grave in Indonesia

0 komentar