Terdakwa Muhammad Nazaruddin dimintai keterangan oleh wartawan dalam sidang dengan agenda mendengarkan kesaksian dari Mindo Rosalina Manulang, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (16/1/2012). Mantan bendahara umum Partai Demokrat tersebut didakwa menerima uang suap sebesar Rp 4,34 miliar terkait pembangunan Wisma Atlet Sea Games di Palembang.

Korupsi merupakan praktik pencurian uang negara yang sejak awal dilakukan penuh kesengajaan oleh para pelakunya. Untuk membuktikan fenomena ini, kita dapat melacaknya dari penggunaan bahasa yang dijalankan oleh para aktor yang terlibat di dalamnya.

Pilihan kata atau diksi dan simbol-simbol yang dipakai untuk menciptakan sandi tertentu membuktikan asumsi ini. Jadi, korupsi tidak lagi sekadar strategi bagaimana menggelembungkan dana (mark up) untuk bisa menghasilkan keuntungan pribadi, tetapi juga penuh tipu daya agar tidak terjerat hukum. Inilah yang kemudian melibatkan permainan bahasa yang tidak mudah dicerna dan dipahami oleh nalar awam.

Sebagai suatu permainan bahasa, praktik kebahasaan yang terdapat pada tindakan korupsi tidak mudah dipecahkan oleh bahasa hukum, apalagi bahasa sehari-hari manusia biasa. Bahasa memang sebagai perangkat untuk berkomunikasi. Namun, karena permainan bahasa dalam aksi-aksi korupsi penuh dengan simbolisasi dan untaian sandi, komunikasi yang terjadi di dalamnya bersifat begitu terbatas. Permainan bahasa dalam aksi-aksi korupsi bukan dimaksudkan untuk menyampaikan makna lugas (denotatif), melainkan arti kias (konotatif) yang sifatnya berlapis-lapis.

Untuk dapat mengerti permainan bahasa korupsi, kita harus memahami konsep language game yang dikemukakan Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Hans-Johann Glock dalam A Wittgenstein Dictionary (2004) menjelaskan konsep permainan bahasa Wittgenstein itu sebagai berikut:
(1) sebagaimana halnya sebuah permainan, bahasa memiliki aturan-aturan yang membentuknya, yakni tata bahasa;
(2) makna dari sebuah kata tidak merujuk pada obyek tertentu, tetapi ditentukan aturan-aturan yang meregulasikannya; dan
(3) sebuah maksud tidak dapat beroperasi apabila tidak melibatkan sistem aturan ke dalam permainan itu.

Penuh kerahasiaan

Ketika berbicara aturan atau sistem kebahasaan, para aktor yang terlibat dalam praktik korupsi pasti menyadari benar posisi politik dan status sosial mereka. Tata bahasa yang digunakan, subyek dan obyek yang ditargetkan, demikian juga maksud yang hendak disampaikan sengaja dikemas dalam permainan penuh kerahasiaan. Hal ini dijalankan supaya permainan korupsi itu bisa beroperasi secara lancar dan siapa saja yang terlibat dalam aksi pencurian anggaran negara tersebut menjadi tidak mudah diusut.

Kenyataan itu dapat disimak apabila kita mengikuti persidangan Muhammad Nazaruddin. Berulang kali istilah ”ketua besar” dan ”bos besar” menjadi sandi yang mengundang teka-teki. Siapakah sebenarnya mereka itu? Apakah mereka yang duduk sebagai ketua umum partai tertentu? Ataukah mereka yang dimaksud itu berada dalam jabatan sebagai ketua badan tertentu pada lembaga wakil rakyat? Pertanyaan itu tidak mudah dijawab karena kalangan aktor korupsi memang bermaksud menyembunyikan identitas asli pihak-pihak yang berposisi sebagai pejabat politik yang dikenali publik.

Tidak hanya sandi yang serba menyembunyikan persona tertentu yang dilibatkan dalam bahasa korupsi. Bahkan, untuk merujuk uang suap atau fee sebagai imbal jasa, aktor-aktor korupsi juga menggunakan simbolisasi yang spesifik. Dari situlah lantas kita begitu akrab dengan sandi ”apel malang” untuk sogokan berupa mata uang rupiah dan ”apel washington” untuk suap berwujud mata uang dollar Amerika Serikat. Kata-kata yang dimaksud untuk memberi sogokan pun bisa diganti menjadi ”semangka” atau ”pelumas”. Nomenklatur buah-buahan dan material lubrikasi tertera pula di sana.

Tidak terkesan vulgar

Mindo Rosalina Manulang, seorang saksi untuk terdakwa Nazaruddin dalam kasus korupsi wisma atlet SEA Games, menuturkan bahwa kata-kata ”apel malang”, ”apel washington”, ”semangka”, dan ”pelumas” sengaja dipakai agar tidak terkesan vulgar. Hal ini, sekali lagi, menunjukkan korupsi merupakan tindakan yang demikian disadari dan telah dirancang secara matang oleh para pelakunya. Meminta uang atau menuntut suap dianggap sebagai diksi yang kasar. Untuk menggantikan kekasaran itu, dimunculkanlah berbagai kata yang dinilai lebih sopan dan terhormat.

Hanya saja, harus dicatat bahwa kevulgaran kata dalam praktik korupsi tidak sama dengan kekasaran tuturan dalam percakapan. Dalam tindak tutur, kata-kata yang dipakai diperhitungkan supaya menciptakan kesan penuh kesopanan. Gejala itu lazim disebut sebagai eufemisme. Sementara dalam korupsi, kata-kata yang terkesan vulgar sengaja dihindarkan tidak sekadar untuk menyelubungi aksi-aksi kekotoran yang disadari, tetapi juga untuk menyimpan kerahasiaan.

Jadi, bahasa korupsi memang menggelontorkan eufemisme supaya memberikan impresi kesantunan. Namun, hal yang lebih penting adalah menciptakan sandi-sandi yang sulit dilacak setiap orang.

Praktik-praktik berbahasa itu menunjukkan bahwa para aktor korupsi berada dalam kesadaran yang mutlak dalam menjalankan perbuatan jahatnya. Karena para aktor tersebut melakukan tindakan kriminalitas tidak sendirian, tetapi berkarakter gerombolan, otomatis mereka juga memahami benar dirinya sebagai anggota dari kelompok pelaku kejahatan.

Hanya mereka yang menjadi anggota dari kumpulan penjahat itu saja yang mampu mengartikan sandi-sandi tertentu. Dalam kasus korupsi wisma atlet SEA Games itu pun muncul kata sandi ”instruktur kebugaran” dan ”pusat kebugaran”.

Menjadi argot

Dalam studi bahasa rahasia, pemakaian kosakata tertentu yang kuyup dengan maksud menyembunyikan dikenal sebagai argot. Secara konseptual, demikian Barry J Blake (Secret Language: Codes, Tricks, Spies, Thieves, and Symbols, 2010) menjelaskan, argot dapat diartikan sebagai kosakata nonstandar dan dipakai sebuah kelompok yang terikat oleh kepentingan bersama akibat isolasi ataupun perlawanan mereka terhadap otoritas. Secara tradisional, argot diasosiasikan dengan mereka yang hidup di luar hukum: pencuri, perampok, pencopet, dan sejenisnya.

Tampaknya, argot tidak hanya bergulir pada kalangan penjahat jalanan. Para pelaku korupsi juga menggunakan sandi-sandi kebahasaan untuk mengoperasikan kehendak busuk mereka. Tentu saja, aneka kosakata yang dikerahkan di dalamnya terkesan lebih halus, elitis, dan penuh enigma.

Pasti mereka sadar bahwa tindakan kejahatan mereka akan terendus aparat pemberantas korupsi. Maka, mereka pun bersiap dengan sandi-sandi kejahatan itu karena apabila diungkap, sejumlah pihak yang terlibat dalam praktik kriminalitas tersebut akan dengan lihai mengingkarinya.

Apakah akibat permainan bahasa korupsi yang penuh sandi itu akan membuat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sulit menetapkan tersangka baru dalam kasus wisma atlet SEA Games? Kita tunggu saja.

Penulis: Triyono Lukmantoro Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro, Semarang
sumber:kompas.com

0 komentar