Oleh: Muhammad As'ad Mahmud, Lc.
Sumber:www.dakwatuna.com
Mudah-mudahan saya tidak terlambat bereuforia dengan ODOJ. Setidaknya saya ingin memotretnya dari sisi lain, dari sisi idenya. Kalau tilawah Al-Quran itu menginspirasi, itu sih sudah dari dulu. Tapi menggerakkan jutaan orang untuk tilawah dengan cara yang sederhana, itu baru luar biasa. Selama ini kita mengajak orang tilawah, tapi belum ketemu cara yang manjur. Di sisi lain, hampir semua orang sekarang ber-socmed ria dengan smartphone. Lalu datanglah ide menggabungkan dua titik itu, socmed dan tilawah. Hasilnya, gelombang tilawah yang mendunia. Saya tidak sedang melebih-lebihkan bukan? Saya tidak tahu siapa pencetusnya, dan juga tidak yakin sang pencetus ingin dikenal orang. Yang menarik dicatat; inspirasi itu tidak mesti datang dari dunia asing nan jauh. Ia akrab dengan kita, sehari-hari, terserak di antara penatnya ruang-ruang aktivitas kita. Kita saja yang alpa memaknai.
Negeri ini sedang kering dengan pemimpin yang menginspirasi. Semua datang dengan lagu lama, wajah lama dan tentu saja gagasan lama. Tiba-tiba hadirlah sesosok lelaki mungil nan menggelegar. Orang mengenalnya sebagai presiden PKS. Tetapi saya lebih senang menyebutnya dengan filosof peradaban. Dengan kedalaman pembacaannya terhadap sejarah bumi pertiwi, ia menyampaikan ide dan gagasannya, berkeliling dari satu kampus ke kampus yang lain. Tiba-tiba semua orang sekarang berbicara tentang generasi gelombang ketiga. Bukan. Ia bukan satrio piningit. Ia juga tidak berbicara tentang bahan yang baru. Ia berbicara tentang sejarah negeri ini yang semua rakyat Indonesia mengalaminya. Tapi ia merangkainya dengan cara pandang yang baru. Ia datang dengan inspirasi, yang selama ini tak terlintas di pikiran orang ramai.
Mau contoh lagi? Maaf ya, saya membawa-bawa si kulit bundar. Syahdan, negeri ini begitu merindu gelar dari olah raga sejuta umat, sepak bola. Tapi sekian dekade berlalu, hanya konflik pengurusnya yang ramai. Alih-alih mencipta skuad tangguh, PSSI malah seperti sekumpulan orang–orang putus asa dengan programnya; naturalisasi. Orang-orang dikirim untuk mencari pemain-main bola di eropa yang punya ayah-kakek-pakdhe-budhe Indonesia. Ya Tuhan! 230 juta penduduk belum cukup menjadi bahan baku. Padahal modal Spanyol, si juara dunia, hanya 40 juta nyawa. Belanda, runner up-nya, malah cuma 16 juta. Sedikit lebih banyak dari kerumunan manusia yang bikin macet Jakarta. Lautnya pakai dibendung-bendung pula, biar negaranya tambah luas. Tapi tidak pernah kita dengar mereka mengutus orang ke Indonesia, untuk mencari peranakan Spanyol yang mau di naturalisasi. Sebenarnya naturalisasi itu wajar. Syaratnya: natural, sesuai namanya. Bukan jadi kebijakan, apalagi program nasional. Untung saya tidak lihai–lihai amat bermain bola. Kalau iya, pasti saya tersinggung dengan program itu.
Lalu datanglah timnas U-19 di bawah bimbingan Indra Sjafrie. Alkisah coach Indra berkeliling nusantara, sampai ke pulau Rote, mencari bakat bakat terpendam. Maaf ya, saya tidak pakai istilah blusukan. Dikira pencitraan nanti. Saya yakin salah satu modalnya adalah pertanyaan sederhana; masak sih ratusan juta orang tidak ada ada yang bisa main bola? Hari ini Anda berdecak menikmati permainan anak-anak U-19. Kata pengamat sport science, kemampuan reaksi motorik Evan Dimas dkk sangat mengagumkan. Kebugarannya juga di atas rata-rata. Sekarang tim itu sudah mempersembahkan piala. Memang masih jauh jalannya. Tapi kita sadar satu hal; Coach Indra tidak mencari bahan dari dunia lain. Semua anak asuhnya, walau bernama Maldini, asli produk negeri sendiri. Coach Indra juga orang pribumi. Ia tidak membawa bahan yang baru, tapi membawa inspirasi baru, cara pandang yang baru dan etos kerja yang baru.
Kembali ke jalur. Sejak kapan al Qur’an bicara inspirasi? Jawabnya, sejak al Qur’an itu diturunkan. Mari kita simak;
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah, dengan nama Tuhan-Mu yang telah menciptakan.”
Ayat yang paling awal turun adalah perintah untuk membaca. Tapi uniknya tidak ada obyek yang disebutkan. Tidak ada maf`ul bih-nya. Artinya, semua ayat Allah, baik yang qouliyah maupun yang kauniyah, yang tekstual maupun kontekstual adalah obyek perenungan. Di sanalah inspirasi itu terserak. Di lembar-lembar mushaf dan kitab tafsir yang ada di rak buku kita, atau di semua makhluk yang ada dan peristiwa yang terjadi di sekeliling kita. Semua layak untuk dibaca. Semua shahih untuk jadi bahan kajian. Apapun itu, di sini intinya; semua pembacaan itu dilakukan atas nama Allah yang telah menciptakan semuanya. Lihat, dari mana inspirasi itu berasal, dan hendak ke mana ia mengarahkan.
Berapa banyak hal-hal sederhana di sekitar kita yang berlalu tanpa makna? Mungkin terlalu banyak. Matahari yang terbit dari timur. Nyamuk yang menusuk kulit. Anak yang sakit. Artis, antara yang ng-ODOJ dan yang murtad. Dan banyak lagi. Kabarnya, ada yang mengkritik, mempertanyakan motivasi para ODOJ-ers. Alhamdulillah, sudah ada ustadz yang menjawab dengan arif. Di pikiran saya cuma satu; ada orang yang sampai pada taraf; bahkan pada kebaikan yang dirasakan semua orang sekalipun, ia tak sanggup memandangnya kecuali dari sisi buruk. Apatah lagi dengan sesuatu yang memang buruk? Saya tak berharap banyak orang-orang seperti itu akan memberi inspirasi, bagi dirinya, apalagi lingkungannya.
Akhirnya, inspirasi memang berurutan dengan hikmah ilahiyah. Hikmah itu pelajaran dari adanya sesuatu atau terjadinya peristiwa. Ketika ia menggerakkan kita untuk berfikir positif, jadilah inspirasi. Wujudnya adalah pikiran dan cara pandang baru, ide dan gagasan baru. Buahnya adalah alternatif-alternatif baru, solusi-solusi baru. Sayangnya memang tidak semua orang bisa menemukannya. Sebab al Qur’an juga bertutur; Dialah yang memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Pantaslah kalau baginda bersabda, hikmah itu kekayaan orang mukmin yang hilang. Di manapun ia ditemukan, orang mukminlah yang mestinya punya kemampuan memaknai, dengan semua cara pandang yang positif. Saya suka menyebutnya; memaknai yang tampak tak bermakna. Wallahu a`lam bisshawab.
Sumber:www.dakwatuna.com
0 komentar