Ilustrasi (forcedgreen.com) |
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Demi bulan ketika mengiringinya. Demi siang ketika menampakkannya. Demi malam ketika menutupinya. Demi langit dan (Allah) yang membangunnya. Demi bumi dan (Allah) yang menghamparkannya. Demi jiwa dan (Allah) yang menyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa kefasikan dan ketakwaan. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwa. dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams: 1-10)
Bila kita baca dan renungkan ayat-ayat pendek surat Asy-Syams tersebut, terasa ada nuansa ‘psiko-astronomis’ (kalau boleh saya sebut demikian) yang sangat kuat. Allah bersumpah untuk menjadi perhatian hamba-hamba-Nya dengan menyebut fenomena-fenomena astronomis yang diakhiri dengan fenomena kejiwaan.
Banyak makna bisa diungkap dari fenomena astronomis itu yang mungkin jarang kita renungkan untuk menyucikan jiwa kita. Misalnya, matahari sesaat setelah terbit yang disebut di awal surat. Matahari di kaki langit tampak lebih besar daripada ketika berada di atas kepala. Padahal, ukuran piringan matahari itu tidak berubah, selain efek refraksi atmosfer yang menyebabkannya tampak sedikit lonjong. Besarnya sekitar setengah derajat atau kira-kira setengah lebar ujung telunjuk bila direntangkan ke depan sepanjang lengan.
Pola pikir manusia yang bersifat nisbi menyebabkan kesan besarnya matahari di kaki langit. Ketika itu matahari tampak besar karena dibandingkan dengan latar depan pepohonan, bangunan, atau benda lainnya yang tampak kecil di kejauhan. Demikianlah, jiwa manusia cenderung merasa diri besar, kuat, kaya, pandai, atau terhormat karena membandingkannya dengan yang kecil, lemah, miskin, bodoh, atau jelata.
Matahari ketika tengah hari tampak kecil karena dibandingkan dengan langit yang luas. Demikian pula pola pikir yang nisbi akan membawa kita sampai pada kesimpulan diri kita kecil, lemah, miskin, bodoh, atau terhina bila kita menyadari ada yang lebih besar, lebih kuat, lebih kaya, lebih pandai, dan lebih terpuji. Itulah ‘psiko-astronomis’ fenomena matahari. Memang, fenomena alam dengan proses spesifik yang disebut di dalam Surat Asy Syams kaya akan pelajaran untuk direnungkan.
Matahari sebagai objek sentral pada empat ayat pertama tampaknya dijadikan perlambang untuk perenungan. Matahari memberikan sinar pada bulan yang mengiringinya sehingga manusia bisa menentukan penanggalan qamariyah. Matahari memberikan cahaya terang dan kehangatan pada siang hari sehingga manusia bisa beraktivitas. Matahari bersembunyi di balik horizon pada malam hari agar manusia bisa beristirahat.
Perenungan fenomena alam semestinya membimbing ke arah penyucian jiwa, menyadari kenisbian nusia. Sifat dan sikap takabur merupakan pengotor jiwa yang bisa muncul dalam bentuk sikap otoriter, diskriminatif, dan menindas. Imam Ghazali pernah berpesan, jadilah Muslim seperti matahari. Ia bersinar karena kualitas pribadinya. Dan ia mampu menerangi dan menghangatkan sekitarnya. Mampu memberi manfaat bagi masyarakatnya.
(RoL)
source:dakwatuna.com
0 komentar